Lihat ke Halaman Asli

Ahok is Magnitis Lithos

Diperbarui: 14 Maret 2016   12:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

(Tulisan ini  dibuat pada hari minggu, 13 Maret 2016 dan baru mendapat ijin dari yang terkasih untuk di upload hari senin, 14 Maret 2016)

Hari minggu hari santai hari untuk berkumpul bersama keluarga, sahabat, handai taulan. Hari menyenangkan yang dimanfaatkan banyak orang, terutama bagi mereka yang kesehariaanya sibuk dengan aktifitas luar rumah, untuk bercengkrama dengan anak-istri, bersama mereka yang tersayang merupakan pilihan yang tepat menghabiskan hari yang selalu diharapkan datang setiap saat ini.

Tetapi berita nasional yang mewarnai timeline soc-med terutama twitter dan facebook dan sepertinya tak mengenal hari libur. Memaksa saya untuk kembali membuka handphone yang sejak dari tadi pagi dibiarkan diatas meja kamar. Bersih-bersih rumah petak (kebiasaan diakhir pekan) sedikit terganggu, istri yang dari tadi masak mulai terusik setelah melihat saya memainkan jari diatas keyboard laptop usang dan mulai menulis tentang Ahok, tentang pak Basuki.

Pak Basuki, ya Pak Basuki itu yang beberapa hari lalu sampai sekarang menjadi Indonesia wide trending topic. Sosok yang telah menjadi magnet, sosok yang mempunyai ciri komunikasi khas, politisi yang selalu memunculkan terobosan dan kontroversi sekaligus. Bagaimana tidak? Ibarat kata hanya beliaulah yang berani membuat banteng mengamuk, Ahok-lah yang membuat banyak kalangan jengkel karena keputusannya mengambil langkah berani maju melalui jalur Independen dalam pilgub 2017.

Langkah yang jarang berhasil dalam kontestasi politik nasional karena kepungan banyak partai. Tetapi hal itu tidak berlaku saat ini -Tentunya tidak berangkat dari ruang kosong belaka- ada rasionalisasi yang bisa membantu menjelaskan. Pertama; kegagalan parpol dalam membangun sistem, gagal menjadi jembatan penyambung kepentingan rakyat terus saja melekat. Ditambah lagi dengan kerja legislator yang representasial partai tidak banyak dirasakan oleh konstituennya. Fungsi partai stuck dimeja para elitnya, pendidikan politik tidak berjalan dengan baik. Fungsi kontrol, oposisi partai hanya sebagai Bargaining Power.

Kedua: Massa Pemilih mulai jengan dengan menyatakan diri pada partai tertentu sementara partai tidak melakukan sesuatu yang diharapkannya. Identifikasi diri pada partai perlahan mulai turun. IDP merupakan komponen psikologis yang memberikan sumbangan bagi stabilitas dukungan terhadap partai dan sistem kepartaian yang bisa memperkuat demokrasi itu sendiri (Burhanudin Muhtadi. Kompas, 1 April 2011). Pada sisi lain, Masyarakat Jakarta yang mudah untuk mengakses informasi tentu dengan mudah pula memberikan penilaian pada pemerintahan DKI hari ini. Media informasi menjadi Instrumen pendukung adanya penggeseran preferensi politik masyarakata Jakarta hari ini bukan?

Ketiga; Partai semakin dianggap tidak melakukan apapun bahkan cendrung mendapatkan penilaian negatif saat pilihan Independen dianggap sebagai upaya Deparpolisasi. Deparpolisasi menurut term klasik adalah pengurangan jumlah partai politik. Dalam konteks hari ini, deparpolisasi sebagai upaya sistematis untuk mendeligitimasi partai politik itu sendiri. Tidak pesimistis, Partai tetap melakukan kerja-kerja politik tetapi denyutnya dirasakan sangat lamban.

Keempat; Ahok memahami betul ruang psikologis masyarakat Jakarta yang puluhan tahun lamanya berada dalam kungkungan persoalan kemacetan, banjir, urbanisasi yang terus meningkat sehingga (masyarakat jakarta) yang kalah bersaing harus menjadi masyarakat pinggiran.

Perencanaan pembangunan kota, lalu lintas yang buruk, perencanaan pemukiman yang menimbulkan banyak masalah, luputnya perencanaan fasilitas bagi warga lansia, polusi udara, masalah gentrifikasi dan tentu saja tata ruang serta landscape kota akan berdampak sangat signifikan bagi kondisi psikologis warga kota metropolitan seperti jakarta (Psikologi Lingkungan Perkotaan. DK Halim, 2008)

Nah, Ahok dengan gaya kepemimpinan bersama pemerintah DKI mulai hadir ditengah-tengah masyarakat jakarta, sarana fisik terus dibenahi, moda transportasi direvitalisasi sehingga menjadi transportasi yang nyaman, rekayasa lalu lintas dan pendukungnya terus dilakukan, pembenahan sungai terus digenjot, pemukinan pinggir kali dialihkan pada rumah susun yang disediakan oleh Pemprov DKI. Namun demikian tidak dengan mudah mendapatkan apresiasi dari masyarakat Jakarta seutuhnya. Kontroversial muncul beringingan seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa terpisahkan.

Kelima: Masyarakat Jakarta masyarakata yang cerdas, pilihan politiknya bukan hanya bersandar pada kepetingan pragmatisme belaka saja. Media massa cukup memberikan pengaruh pada pergeseran kesadaran masyarakat yang industrial itu. ditambah lagi dengen kenyataan politik nasional, partai-partai peserta kontes politik 2014 yang, alih-alih kerja tehnik-prosedural untuk menciptkan iklim demokrasi subtasial. Realitas politik justru membawa kearah politik transaksional, lu punya ape gue punya ape, yuk bagi-bagi. Ahok datang dengan membawa pedang tajam nan panjang menebas gambaran itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline