Lihat ke Halaman Asli

[Untukmu Ibu] Goresan Kasihmu Tak Pernah Terlupakan

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh: Mus taqim ( No. 391)


Di waktu senja kabut yang menyelimuti perbukitan akupun melukiskan di atas secarik kertas permanen yang tak pernah terhapuskan selama hidupku tentang goresan kasihmu yang membekas pada diriku. Hari ini adalah hari ibu yang patut aku ukir dan aku kenang betapa besar jasa dan pengorbananmu terhadap diriku. Ibu... aku tak pernah mengingat akan sejarah perjuanganmu melawan benteng benteng penjajah kehidupan yang suram dan kelam di masa lalumu, berjuang melawan penindasan hidup hanya satu tujuan untuk kemerdekaan hidupku yang masih penuh  tanda tanya entah kapan aku akan sukses. Penantianmu sungguh tak kenal lelah menjaga dan merawat diriku hingga aku sampai mengerti arti kehidupan ini yang penuh perjuangan dan pengorbanan. Sejarah hanyalah bekas cerita yang tak ada ujung dan tak ada akhir dalam hayat hidupku untuk di dikenang menjadi kenangan terindah yang menggores hati ini dengan bekas goresan kasihmu ibu.


Ibu... aku teringat masa lalu di saat aku sedang duduk kelas VIII SMP yang masih lugo tak pernah peduli akan nasehatmu, ingatkah hal itu ibuku tercinta? Waktu itu hari jumat yang hampir merenggut dan melenyapkan diriku di atas roda putaran bumi ini, namun sang ilahi masih berkehendak lain terhadap diriku untuk mengenang sejarah pengorbanan akan kasih sayangmu ibu yang sempat menggores diriku dengan belaian lembutmu. Kecelakaan yang terjadi kala itu antara sepeda motor yang di tumpangi aku dan kakakku bertabrakan dengan mobil kijang membuat aku tak berdaya berbaring di atas jalan yang beraspal. Ceceran darah yang bertebaran mewarnai jalan yang aku lalui. Sesaat sempat aku sadar terlihat kakiku sudah patah. Ibu... ibu... ibu... kenapa ini bisa menimpa pada diriku, apa yang salah pada diriku. Bentuk penyesalanku ini sangat mendalam ibu. Aku telah menambah bebanmu ibu, apakah kamu sanggup menerima kenyataan semua ini ibu, anakmu yang tercinta ini sudah cacat, tidak sama dengan orang lain.


Aku tau kabar ini sangat berat terdengar di telingamu ibu. Sesaat di rumah sakit kau tetap tersenyum memberikan semangat untuk bangkit pada diriku. Sakit banget ini ibu, aku sudah tidak kuat menahan semua cobaan ini. Ibu... ibu... aku minta maaf atas semua kesalahan dan penyesalanku ini. Ibu... dimanakah kamu ibu. Aku sudah tidak kuat lagi menahan semua ini kakiku sudah patah ibu... sakitnya bukan main ini ibu... terasa tubuh ini di belah dua ibu dengan seribu pedang yang sangat tajam, nasibku sudah sial ibu... hidupku ini sudah di ujung tanduk, sial banget...perjalanan hidupku ini ibu, dipenuhi dengan duri duri penyesalan ibu. Ya Allah... berilah kekuatan padaku agar aku bisa menjalani cobaan ini.


Betapa hancurnya hatimu ibu melihat diriku terkapar diatas ranjang rumah sakit ini, apakah engkau  ibuku sanggup menerima diriku yang sudah tidak sama dengan orang lain pada umumnya ini ibu, ibuku... kau memang orang yang tegar selalu menerima aku apa adanya meskipun banyak kekuranganku dan kesalahanku. Aku salut akan sikapmu ibu yang selalu menyayangi hidupku hingga aku mengerti akan makna kehidupan ini.


Ibu.. hari demi hari yang kulalui saat aku sakit penuh kehampaan hanya di temani sepasang tongkat yang terikat di kakiku. Dikala aku berbaring di atas ranjang itu, tetesan air mata penyesalan selalu membasahi mukaku. Andai waktu dapat di ulang aku tak akan pernah melanggar terhadap perkataanmu ibu. Meskipun air mataku menetes biarlah menjadi pelajaran hidup bagiku ibu. Disela sela kehampaanku kau masih setia merawatku dengan sepenuh hati. Raut wajahmu sangat terlihat gambaran ukiran akan goresan goresan kasih sayang sepanjang hidupmu. Tiga bulan lamanya aku berbaring di atas ranjang ibu..., perasaanku ibu, sudah di landa kebosanan sepanjang hari. Hidup ini sudah tak berarti lagi bagiku semua kenangan selalu pahit datangnya pada diriku ibu.


Kesetiaanmu ibu mendampingiku selalu teringat pada diriku yang lagi tak berdaya di ruang kehampaan ini ibu. Dikala itu ibu... aku sudah merasa memulai kehidupan baru. Seperti bayi yang  mulai belajar mengenal dunia ini. Ibu, ingatkah itu ketika engkau memperkenalkan dunia baru kepada diriku yaitu dunia kesetian yang penuh kasih sayang. Saat aku terbangun dari ranjangku engkau selalu menungguku supaya terlihat sehat, tetes demi tetes air hangat yang kau usapkan pada wajahku dan tubuhku tanpa merasa jijik apakah aku sanggup melakukan seperti ini ibuku, ibu sudah sembilan bulan engkau direpotkan di masa kandunganku tapi engkau tetap setia dengan penuh kasihmu mempertaruhkan nyawamu demi terlahirnya aku ke dunia ini. Setelah aku besar lihatlah sekarang kejadian itu berulang kembali, layaknya drama yang tak ada ujung dan tak ada pangkalnya tapi engkau tetap setia memberikan kasih sayangmu terhadap diriku dengan ketulusan hatimu ibu.


Disaat aku masih kecil engkau memandikanku dan mencebokiku, engkau tidak merasa malu dengan semua ini, ibu... mungkin sang ilahi punya kehendak lain atas semua kejadian ini yang menimpa pada diriku ini ibu. Aku harus memulai kehidupan baruku di atas ranjang ini, yang harus dimaknai dengan hal-hal yang positif.  Bu ... aku sebenarnya merasa malu terhadap diriku ini ibu. Engkau selalu menyediakan air hangat setiap pagi hanya untuk menjaga kebersihan diriku ibu, tapi engkau tidak pernah memikirkan dirimu ibu akan kesehatanmu sendiri. Engkau mencebokiku seperti aku ini anak kecil yang baru dilahirkan. Ibu, disela sela kesibukanmu mengurus ladang serta, mengurus sapi, mengurus ayam dan mengurus keluarga serta saudara saudarku sehingga dia tidak kelaparan di tengah perjalanan kehidupan ini masih sempatya engkau mengurusiku dengan ketulusan dan keikhlasan hatimu pada diriku.


Penyemangatmu membuat aku bangkit lagi dalam memulai kehidupan ini. Ketika aku bisa menapakkan kaki ini ke atas permukaan bumi dan ketika bisa menancapkan sepasang tongkat yang tak mungkin bisa kulakukan. Dunia ini sungguh sangat indah berseri diselimuti dengan awan yang bersisik dan membentang dengan deretan deretan bukit indah semua ini tak akan pernah sirnah. Sama dengan halnya kasihmu ibu yang tergambar dalam sanak sanubariku yang tergores dengan kasih sayangmu.
Ibu... hanyalah engkau orang yang sangat sayang padaku, orang yang selalu setiap kali memberikan masukan dan arahan terhadap hidupku. Entahlah... sanggupkah diriku membalaskan semua jasamu. Ibu... dikala kenangan pahit itu berlalu setiap kali aku berjalan dari kesembuhanku terasa kaki ini sangat besar harapannya membawa makna kehidupan baru yang saat ini kujalani. Setiap aku mengeluh... aku akan selalu ingat jasamu dan nasehatmu ibu, yang membuat aku semangat lagi menjalani dan mencari arti kehidupan ini.


Ibu... keadaanku sekarang masih seperti dulu, aku masih belum sembuh total ibu, cara jalanku masih agak rada pincang ibu, meskipun ini terjadi seumur hidupku, aku tetap semangat sampai aku bisa menjadi orang yang sukses bu, doakan aku bu biar aku mencapai kesuksesanku. Ibu... bagaimana kabarnya disana baik-baik sajakah? Ibu... sekarang lagi ngapain? Ibu, banyak orang yang ngomong ke aku kalau aku ini masih agak rada pincang, tapi aku tetap semangat kok menjalani kehidupan ini, aku kan sudah dewasa tidak mungkin cengeng bu. Kenangan manis yang tak pernah terlupakan bagi diriku, ketika engkau memberikan sentuhan kasih sayangmu ibu melalui selembar kain basah dengan air hangat yang di usapkan ke mukaku dan tubuhku. Karena hal itu kasih sayang seorang ibu memang sungguh tak ada batasnya. Ibu, belum tentu aku bisa membalas semua kebaikanmu di saat engkau sakit ibu. Namun aku mencoba untuk merubah sikapku ini ibu menjadi lebih sayang terhadapmu ibu.


Aku tau perasaan ibu sekarang sedang dilanda kesedihan mengingat anaknya tidak sama dengan orang lain, perasaan ibu sekarang pasti iba dan kecewa, tapi itu gak mungkin ya bu, ibu memang orang penyemangat yang selalu menyemangatiku di setiap langkah yang aku lalui dan aku tempuh. Doamu yang membawa kesuksesanku ini ibu, hingga aku sekarang bisa kuliah. Seperti apa yang aku inginkan dan aku cita- citakan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline