Gerakan masyarakat madani atau civil society di Indonesia sudah dimulai sejak awal abad 20. Saat itu, para pejuang, menyadari pentingnya perjuangan secara politik tanpa kekerasan untuk melawan pemerintah Hindia Belanda. Kekalahan rakyat Aceh dalam peperangan 100 tahun melawan Belanda, turut menyadarkan perjuangan bersenjata tidak efektif dalam membebaskan nusantara dari cengkeraman Hindia Belanda. Sejak itulah lahir berbagai organisasi kemasyarakatan (Ormas).
Perlu dicatat, ormas-ormas Islam, juga memulai gerakannya dalam perjuangan tanpa kekerasan tersebut. Mereka membangun karakter seorang muslim pada anggotanya, sekaligus menanamkan rasa cinta tanah air yang kuat. Ormas Islam pertama yang terbentuk adalah Jamiat Khair, pada tahun 1901 di Jakarta (Batavia saat itu). Ormas Islam itu, baru mendapatkan izin resmi dari Pemerintah Hindia Belanda pada 17 Juli 1905. Dengan diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda, Jamiat Khair resmi menjadi ormas Islam namun dilarang membuka cabang di luar Batavia.
Selanjutnya, umat-umat Islam yang berhimpun dalam ormas Islam, satu per satu berdiri dan diakui oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada 6 September 1914, berdiri Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah (Jam'iyat al-Islah wal Irsyad al-Islamiyyah). Pengakuan hukumnya baru dikeluarkan pemerintah Kolonial Belanda pada 11 Agustus 1915. Lalu, Muhammadiyah pada 18 November 1912, Nahdlatul Wathan pada 1916, Mathla'ul Anwar pada 1916, Persatuan Islam (PERSIS) pada 12 September 1923, dan Nahdlatul Ulama (NU) pada 31 Januari 1926. Setelah itu, diikuti pendirian berbagai ormas Islam lainnya. Sementara Lemkari/LDII berdiri sejak 1972, atau setahun setelah Pemilu pertama pada masa Orde Baru.
Kiprah ormas Islam dalam kontribusinya membangun bangsa dan negara, dicatat dengan tinta emas dalam perjalanan sejarah Indonesia. Ormas-ormas Islam membentuk karakter warganya, dengan ciri khas masing-masing dan memperkaya kemajemukan bangsa Indonesia. Dalam kemajemukan ini, Ormas Islam tersebut tetap dalam satu tekad mendukung penuh kesepakatan para pendiri bangsa, bahwa Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika merupakan pilar bernegara yang wajib dijaga dan dipertahankan bagi keberlanjutan bangsa dan negara.
Sejalan dengan komitmen kebangsaan Ormas Islam, negara juga berkomitmen melindungi ormas Islam, sebagaimana diatur dalam UUD 1945 pasal 28, bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul merupakan hak warga negara. Hal tersebut kemudian diturunkan menjadi UU Ormas, dimulai dari UU No. 8 tahun 1985, kemudian UU No. 17 tahun 2013 dan UU 16 tahun 2017 tenang Penetapan Perppu Ormas menjadi UU.
Bagaimana dengan LDII? Sejak 1972, ormas Islam ini telah melewati berbagai dinamika bangsa. Mulai dari rezim yang kekuasaannya terpusat, hingga Orde Reformasi yang menempatkan ormas sebagai salah satu kekuatan. Meskipun tarik ulur antara ormas-ormas Islam dengan pemerintah kerap terjadi -- yang merupakan pengulangan sejarah sejak zaman Hindia Belanda -- namun semuanya dalam koridor demokrasi. Hal yang yang harus digarisbawahi, ormas Islam maupun non-Islam, merupakan wadah rakyat untuk menyalurkan aspirasinya. Hal yang membedakan dengan partai politik, ormas-ormas tidak memiliki otoritas. Namun, ormas merupakan lembaga atau wadah yang sangat dekat dengan aspirasi dan berbagai permasalahan di tingkat paling bawah.
Melihat posisi ormas sebagai penyalur aspirasi masyarakat, tentu ormas tidak berposisi sebagai pesaing pemerintah atau negara. Namun bekerja sama untuk mencapai tujuan berdirinya bangsa Indonesia, sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 alinea keempat:
"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."
Untuk mewujudkan cita-cita pendirian bangsa itu, ormas Islam dalam hal ini LDII harus dijalankan dengan sukarela sebagai bagian dari ibadah (lillahi ta'ala), mandiri, swadaya, dan pengurus maupun anggotanya mematuhi norma-norma yang berlaku, baik aturan pemerintah maupun organisasi. Hal tersebut selaras dengan definsi masyarakat kewargaan (civil society) dari Alexis de'Tocqueville, bahwa civil society -- yang ormas-ormas berada di dalamnya --- didefinisikan sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan, antara lain: kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), dan keswadayaan (self--supporting), dan keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.
Mengutip AS Hikam, civil society adalah suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material, dan tidak terserap di dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi. Di dalamnya tersirat pentingnya suatu ruang publik yang bebas, agar warga lebih berdaya, dan mengembangkan komunikasi antar masyarakat dengan bebas.