Sometimes you want to go where everybody knows your name - Lagu pembuka serial Cheers yang jaman kecil dulu sering saya tonton
Pernah dejavu? Berasa kayak udah pernah ngalamin kejadian yang pas saat itu dialami? Selama di Bali sini ya saya kayak dejavu gitu. Berasa nggak kemana-mana, padahal udah nyebrang laut dan pindah pulau. Kok bisa, Pit? Jadi gini… (Siap-siap. Akan selalu ada cerita panjang setelah “jadi gini…”) Tumpukan bata merah itu perapian tempat bakar pizza karena sebelum jadi kedai kopi tempat ini sempat jadi kedai pizza. Kasihan pizza. Dia pasti sangat berdosa sekali sampai dibakar seperti itu... Tahu kan kalo sejak Januari pantat saya ada di Bali? Nah, beberapa hari setelah puas gegulingan sama bocah monster gundul-gendut-unyu, anaknya ibu asuh saya nan seksi dan baik hati, seorang mbak baik yang sudah duluan “buka jalur” di sini ngajak saya ke satu kedai kopi. Namanya Kopi Kultur, gampangnya ya KK. Dia langsung ngenalin saya ke semua orang yang ada di sana, mengaku sebagai pengungsi banjir dari Jakarta yang menyelamatkan diri ke Pulau Dewata. Saking buwanyaknya orang, saya cuma ingat mas kucel bermata panda dan berambut agak gondrong yang hampir putih semua, mbak istrinya yang nampak seperti ibu beranak banyak dan berwajah khawatir, dan mas berkulit tato yang lengannya sebesar paha. Lalu ada om-om gondrong yang auranya berwibawa banget sampai saya bawaannya pengen cium tangan, dan bapak berkacamata nan bersahaja yang mirip dosen Structure saya dulu dan sama-sama beruban. Meskipun saat itu saya nggak bisa ingat namanya satu-persatu—kecuali kalau mereka pakai name tag—saya hanya ingat satu benang merah: semua orang berwajah ramah dan tersenyum tulus. Begini bentuknya KK kalau dilihat dari depan kantor WOS. Tempatnya nyaman banget. Di pojok kanan-kiri ada kursi-kursi kayu sebesar ambin dengan bantal guwedhe-guwedhe. Strukturnya dari bambu betung dan terbuka. Arsiteknya bernama Mas Kelik. Meskipun tidak melipur lara seperti pelawak Jogja, tapi rambutnya kriwul-kriwul mirip mie goreng yang sering dibikin ibu saya dan nyengirnya literally dari kuping ke kuping. Saya yang rada klaustrafobik sama sekali nggak berasa deg-degan di tempat itu. Ya paling masuk angin aja sih, dikit, kalau kebetulan anginnya lagi jahil dan saya lupa bawa sweater. Letak kedai ini di Jalan Pengubengan Kauh, di tengah desa, masih ada lapangan dan sawah meskipun seberangnya ada konveksi tapi kalau malam aduhai gelap-gulita dan banyak tawuran antar geng—kumpulan guguk beda banjar yang rebutan wilayah. Hihi. Saya nggak tahu ada apa dengan Bali, kenapa orang-orang suka sekali bikin tempat nongkrong dan restoran di tengah desa. Beda banget dengan Jakarta yang semua tempat nongkrong adanya di mall atau pusat keramaian. Kan saya yang susah, jadi betah, males pulang. Dan rasanya sangat remeh jika menyebut KK sebagai sekadar kedai kopi. Sudah ada pertanda ini bakal jadi rumah saya kedua, tempat saya berangkat kemana-mana, terima tamu, atau janjian. Bantal dan kursi mirip ambin itu sebangun dan sebentuk dengan ruang tamu kedua saya di Radio Dalam—Bubur Karpet. Apalagi wifi-nya nggak pernah mati dan tempatnya nggak pernah dikunci meskipun dapur tutup jam sebelas malam. Terbukti, pertama kali ke situ saya dan mbak baik pulang jam dua pagi setelah lelah ngobrol di pojokan dan kehabisan bahan bergosip. Mas Robin sedang menggiling kopi agar baik rasanya. Halah... Karena sering ke sana saya jadi kenal dengan mbak dan mas penjaganya. Ada Mbak Rani yang masakannya jagoan dan bikin saya sendawa bahagia sehabis lelah ngembat sepiring nasi campur beras merah bikinannya. Ada Mbak Ratih dan Mbak Putri yang nggak tahu kenapa saya sering ketuker-tuker. Dan yang paling ganteng, karena lelaki sendiri, adalah Mas Robin yang nggak temenan sama Batman. Dan juga satpamnya, Gerry, guguk jantan hitam nan cuek yang sepertinya ada keturunan papillon dengan ujung ekor berwarna putih, tanda guguk alfa dan bandel. Dan sampai entri ini dibikin, saya sudah berkali-kali janjian di situ untuk pergi ke mana, rendezvous dengan teman yang duluan menetap di Bali dan bertemu “objek bully” impor dari Jakarta yang jadi turis Ingress. Satpam KK neh! Satpam sih unyu begini... ((= Iseng saya googling “Kopi Kultur”. Dan saya mendapatkan dua entri yang ditulis oleh orang Bali keren yang sedang hijrah ke Oz. Bapak yang mirip Pak Ar, dosen saya itu, ternyata namanya Pak Suar. Beliau adalah pemilik Wisnu Open Space atau WOS, tempat yang di pintu masuknya ada KK-nya. Beliau ini… keren banget deh! Pak Suar menyediakan lahan dengan mindset “green” sebenar-benarnya, top-to-bottom, nggak cuma lifestyle tapi juga ekonomi, dan difungsikan buat kepentingan ruang publik. Beberapa kali ada event di sana, mulai dari loka karya dengan penduduk asli Bali (yang waktu saya datang seperti sedang rapat desa karena semua orang berpakaian tradisional, ibu-ibu dan bapak-bapak, lengkap dengan kebaya dan udeng-udeng), sampai acara ulangtahun komunitas blogger gdubrak.com yang kerjasama dengan Kopi Kultur (dan MCnya berkali-kali menyebut “Terima kasih pada Pak Wisnu yang sudah menyediakan tempat…” padahal adanya Pak Suar, bukan Pak Wisnu. Hihi). Dan om-om gondrong berwibawa itu namanya Pak Rai. Seumur hidup saya ketemu “dewa kopi” ya baru Pak Rai itu. Colek sedikiiit aja perihal kopi, langsung keluar ilmunya yang bikin saya ternganga-nganga kayak kalo ketiduran di bis. Nggak cuma kopi, Pak Rai ini seperti ensiklopedia berjalan untuk urusan tanaman. Penasaran sama nama salah satu tumbuhan yang kamu temui di jalan? Sebut saja ciri-cirinya. Nanti beliau akan kasih tahu kamu mulai dari kegunaannya untuk apa, tumbuh di mana, nama lokalnya apa, sampai nama latin. Semua kopi yang dijual di KK adalah hasil tangan dingin Pak Rai yang percaya bahwa industri kopi sudah seharusnya punya trickle down effect, nggak cuma diburu untuk nendang syaraf para urbanist tapi juga nendang buat ekonomi dan kehidupan petani kopi dengan proses tanam sampai roasting yang baik dan benar agar hasilnya menyehatkan. Dan Pak Rai ini selain juara banget racikan kopi dan minumannya, beliau juga jago masak! Sempat suatu malam waktu saya kurang ajar bergabung semeja, Pak Rai nawarin saya pisang goreng keju bikinannya. Nggak cuma itu, pisang itu juga dipotong-potong Pak Rai sampai kecil yang saya tinggal tunyuk pakai garpu lalu kunyah. Jadi kangen Babab… )= Dan belakangan saya baru tahu bahwa mas guwedhe berlengan sepaha itu ternyata Jerinx, anggota band Superman Is Dead. Saya nggak nyangka aja orangnya ramah sekali. Kunci pandanganmu pada mukanya, dan kamu nggak bakal lihat tatonya kecuali senyum yang membuat wajahnya seperti diterangi neon. Dia itu jagoannya bawa tamu ke KK. Tukang bikin acara dan keributan. Kalau kedai sedang sepi, dia akan panggil teman-temannya buat bikin keramaian. Haha! Lalu mas dan mbak suami istri itu? Nah, ini bagian paling menarik dan bikin saya dejavu. Mas agak gondrong dan beruban itu namanya Kang Ayip, orang Sunda yang kelamaan di Bali. Beliau pendiri Matamera Communications, agensi yang bergerak di bidang desain, strategi dan branding. Kalo urusannya udah gambar-gambar desain, branding, dan acara-acara semacamnya, nggak usah banyak nanya lah kalo ke Kang Ayip mah. Saya ada nih daftar “keributan” keren yang dibikin sama Kang Ayip dan bala kurawanya. Beliau jebulnya juga teman baik Mas Danny Tumbelaka, mas-mas fotografer kawakan yang ramah dan botak dan dulu sering sekali bikin angkringan Langsat overtime karena kami asyik ngobrol. Dua hal yang plek sama dari Mas Danny dan Kang Ayip: mereka nggak pelit ilmu. Bawaannya ngajak diskusi, sekadar sharing atau bikin-bikin apaan kek yang feasible dan “kena”, tapi tetap cekikikan dan cela-celaan. Dan Kang Ayip ini pentolan di belakang Kopi Kultur yang bikin kedai ini jadi tempat kumpul-kumpul anak-anak muda kreatif Bali dan menggodoknya jadi creative hub. Idenya mirip banget sama Rumah Langsat, meskipun yang di sono ya sepertinya cuma saya doang yang membuatnya jadi creative hub karena tempat enak nebeng wifi buat mengais segenggam berlian ya di sana. Yang lain ngantor biasa. Lalu mbak-mbak yang mukanya selalu kelihatan khawatir tapi funky? Itu Mbak Aty, alias Nyonya Ayip. Desainer interior/perhiasan/fashion. Gokil kan! Belom lagi coffee shop afficionado. Kalo kita paling pengen kopi ya karena pengen ngopi. Mbak Aty mah nggak. Kalo dia pengen ngopi, ya bikin coffee shop! CADAS, man! Belakangan, karena sering ngobrol dan cela-celaan juga—teuteup—saya jadi tahu apa yang mengakibatkan wajah beliau seperti itu. Meskipun anak kandungnya cuma satu dan masih kelas lima SD, anak angkatnya udah pada gede dan buwanyak buwanget! Ya itu, sekantor Matamera itu lah! Kalau Kang Ayip ceritanya jadi bapak berwibawa, Mbak Aty ini yang jadi ibu pengasih, dengerin curhatan dan ngomelin kalo mereka punya salah. Ya meskipun anggota Kelompencapir juga sih, Kelompok Pencela dan Pencibir kalo sedikiiit aja ada yang salah-salah kata. Di KK nggak pernah sepi musik. Playlist dari iPod yang dicolok ke sound system ngumpet diantara bulatan bambu itu semua pilihannya Kang Ayip. Saya jadi ingat masa-masa begadang di Langsat bareng Paman Tyo. Selera mereka—dan saya juga sih *sigh*—tua, tapi gue banget. Britpop dan progrock mah ada lah. Dan kalau ada Mas Dicky, bosnya mbak baik, nggak pernah sepi juga dari celaan tapi juga sarat cerita-cerita pengalamannya jadi fasilitator di tempat-tempat terpencil. Sama kayak kalau saya ketemu Ndorokakung kalau beliau sedang bertandang ke Langsat. Dan Satrio, seniman muda dan gondrong yang rambutnya sering digelung cepol itu kalau di Langsat kayak Zam. Bikin saya common bullshit terus, bilangnya mau pulang tapi baru angkat pantat tiga atau empat jam kemudian. See? Dejavu kan? Terus, letak kopinya di mana, Pit? Sebentar… [caption id="attachment_247682" align="aligncenter" width="632" caption="Noh! Dipileh, dipileh..."]
[/caption] Jadi, gara-gara saya tergoda Robusta-nya Kang Ayip di mug gendut dengan isi mengepul-ngepul, saya cobain lah. Enak, seperti Robusta pada umumnya. Terus teman saya yang gila kopi menyarankan saya coba Arabica. Lebih enak, dan saya lalu jatuh cinta. Tapi tahu nggak cinta terahir saya pada kopi tertambat di mana? Peaberry! Nah, ini saya nggak pernah tahu terbuat dari apa dan saya juga masih sungkan nanya ke Pak Rai. Tapi man… kalo kamu penasaran bagaimana rasanya syarafmu digampar nikmat oleh kafein, you should try this one. Makanya, dateng ke sini kalo mau nyobain. Hihi. Tapi beneran, deh. Saya nggak tahu ini anugrah atau kutukan, karena kemanapun saya pergi, sudah melintas ribuan kilometer pun, saya masih berada di lingkungan yang sebentuk dan sebangun, masih bertemu orang-orang baik yang mau menjawab pertanyaan-pertanyaan bodoh saya, masih bisa tersandung di tempat asyik. Dulu saya selalu nyaman mengunjungi manusia, menyambung kembali komunikasi dan saling mengejar ketertinggalan, bertukar informasi tentang siapa sudah punya anak berapa atau saya sudah berbuat apa. Bukan mengunjungi tempat seperti pelancong pada umumnya. Tapi KK menyediakan semuanya: tempat nyaman, orang-orang bertangan dan hati terbuka, kopi sehangat penerimaan dan suasana sesegar wangi dupa di pura depan. Maka nikmat Bali yang manakah yang akan kau dustakan…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H