[caption id="attachment_220292" align="aligncenter" width="460" caption="Gambar dicomot dari http://www.fanpop.com/spots/shaun-the-sheep/images/20142532/title/shaun-sheep-wallpaper"][/caption]
Semua ini gara-gara ada anak yang terlalu nakal sampai bapaknya ingin menyembelih… - Kakek Botak Penggerutu yang keberisikan akibat TOA masjid bertakbir keras-keras tanpa henti
Halo! Sudah habis berapa tusuk sate kambing dan berapa mangkuk gulai sapi? Sudah cek kadar kolestrol? Atau sudah terlanjur pusing di bagian belakang kepala dan tepar nggak bisa ngapa-ngapain? Kalau belum, mari saya bikin pusing sedikit. Jadi ini sebenarnya kegelisahan saya setiap Idul Adha menjelang. Saya terganggu dengan tontonan brutal di lapangan-lapangan masjid berupa penyembelihan hewan kurban. Waktu saya kecil dulu saya pernah disuruh—entah Budhe atau Pakdhe, saya lupa—ikutan nonton juga. Walhasil saya nggak berani tidur malamnya karena masih terbayang mata—yang menurut saya—sedih para embek dan sapi yang menanti ajal di pisau jagal. Atas nama simbol bagi ritual agama. Kemarin sembari takbir berkumandang di masjid dekat rumah Bu Anggi saya lihat ada salah seorang yang punya kegelisahan sama di "lapak sebelah". Menurut data dari berita, tahun 90-an banyak sekali daging kurban yang harus dikubur saking melimpahnya, di Arab sendiri dan di Indonesia. Dan lewat jejaring media sosial saya sempat lemparkan pertanyaan: bisa nggak sih ritual kurban diganti dengan hal yang lebih membawa manfaat bagi fakir miskin dan mereka yang nggak mampu? Seperti bagi sembako atau membuat instalasi air bersih, misalnya. Untuk kasus hewan kurban melimpah sampai harus terbuang-buang, kita sudah ada solusinya: daging kalengan. Lembaga-lembaga semacam Dompet Duafa yang pintar sekali mencari peluang itu bahkan membina peternakan kambing dan sapi di desa-desa yang nantinya akan disodorkan ke calon pengkurban (saya nggak tahu istilah bahasa Indonesianya untuk orang yang berkurban). Badan amil ini membuat daftar jenis hewan dan spesifikasinya untuk dipilih dan disalurkan ke mereka yang berhak. Semua dilakukan tanpa harus rempong pilah-pilih embek di kandang bau dan becek. Oh, saya bisa ngomong gini akibat salah satu tetangga kamar saya dulu bekerja sebagai marketing di Dompet Duafa dan saya dikasih job nerjemahin beberapa brosurnya. Terus masalah penggantian embek dengan sesuatu yang lebih membawa kemaslahatan? Seperti yang saya kutip iseng di awal tulisan, dari sisi saya dan si Kakek Botak Penggerutu, kami yang nakal-nakal ini mengandai bahwa sebenarnya yang terjadi adalah bapak yang kesal karena ulah anak kelewat bengal. Makanya dia menakut-nakuti si anak dengan pura-pura menyembelih. Semacam untuk menimbulkan efek jera sebagaimana Amerika melakukan waterboarding untuk para tersangka teroris. Namun karena yang kita bicarakan adalah Pak Ibrahim, jadilah hal itu dikembangkan menjadi salah satu kisah yang kita nggak bisa konfirmasi kebenarannya. Oke. Saya ngelantur. Silakan azab saya, tapi jangan pedih-pedih. Tapi gini lhooo… Saya selalu ingat petuah guru agama saya kelas 6 SD. Waktu itu Bu Rodiah mungkin sedang agak stabil emosinya, tepat sehari sebelum libur Idul Adha. Jadi, saya selalu ingat ucapannya yang satu ini karena tumben sekali nggak nakut-nakutin pake api neraka. Menurut beliau, momen kurban adalah ketika kita menebar kasih sayang pada fakir miskin, memberi kesempatan pada mereka untuk sekali-kali menikmati daging yang biasa dimakan orang-orang yang lebih mampu. Lalu saya berpikir, dengan banyaknya sumber mata air alami di desa-desa terpencil yang dikangkangi korporat multinasional—halo, Aqua Danone dan Palyja!—sekarang ini air bersih hanya bisa dinikmati mereka yang berpunya. Nggak usah jauh-jauh lah sampai ke Situ Babakan Pari (yang namanya dulu sering kita baca di label air minum kemasan namun sekarang udah nggak pernah lagi; mungkin karena mata airnya sudah kering kerontang?) Di satu kampung nyempil sebelum Bintaro teman-teman saya sampai harus mengenalkan cara menggunakan toilet agar mereka nggak pergi ke tanah kosong bawa cangkul atau sekop dan bebersih pakai daun setiap ingin berhajat. Itu saking air bersih adalah sesuatu yang langka dan sangat berharga. "Kegatalan benak" ini terjawab melalui twitter oleh salah seorang "abang" yang santri. Menurutnya, aturan kurban sudah sedemikian fixed sampai jenis binatang, usianya, dan tata cara berkurban sudah terjelaskan secara gamblang. Jadi, memang harus dituruti. Sudah dari sononya begitu, nggak bisa diganggu-gugat. Salah satu teman lain yang mengerti perihal pertanyaan saya berpendapat sama. Jika memang ingin membuat instalasi air bersih sebenarnya sumber dana bisa didapat dari zakat harta, infaq dan sadaqah. Ah! Saya kok baru kepikiran ya? Mungkin hal itu nggak pernah terlintas juga di benak siapapun yang mikirnya tiga sumber dana sosial itu hanya untuk membangun masjid (yang sayangnya selalu sepi kecuali Ramadhan). Balik lagi ke masalah kurban yang melulu daging… Ya hari gini gituloh… nyamuk aja udah pada bermutasi, jadi kebal sama obat macam apapun dan masih bebas berkeliaran meskipun kita udah nyemprot racun serangga berliter-liter setiap malam, yang hisapannya bahkan menembus celana jins. Seiring makanan yang berbagai ragam, penyakit juga bermacam-macam jenisnya. Salah satunya alergi. Saya kenal kok beberapa teman yang eksim atau asmanya kambuh atau sakit perut hebat tiap makan daging kambing atau sapi walau sedikit. Sama seperti saya yang mendadak jendul-jendul di sekujur badan tiap perut kena kepiting atau udang. Nah, dengan selalu mengadakan kurban berupa daging, saya kok ya kepikiran sama orang-orang nggak mampu yang juga nggak bisa makan daging itu ya? Jadi, saya kepikiran untuk bikin kurban berupa salad atau bahan gado-gado dan pecel, lengkap dengan bumbunya yang bisa langsung diseduh dan jadi. Lebih sehat dan bermanfaat sih sepertinya, ketimbang daging melulu yang berkolestrol tinggi. Atau gini: Tiap masjid yang jadi panitia kurban dan diserahkan amanah menyembelih juga menyediakan paket sembako. Ini bisa ditukar oleh paket daging. Jadi, yang nggak bisa/boleh makan daging bisa aman makan mie instan atau bikin nasi goreng. Pelaksananya bisa diambil dari para anggota Rohis atau bapak/ibu sekitar. Dananya bisa dari kas masjid yang diambil dari sumbangan Jumatan. Nah, paket daging yang ditukar itu bisa dijual lagi ke orang-orang yang kepingin bikin sate di rumah, merayakan hebohnya "Hari Kolestrol Nasional". Uangnya? Masuk ke kas masjid lagi. Semua senang, semua riang! Yay! Tapi ya gimana ya… jika usulan ini saya sampaikan ke mereka yang punya wewenang, saya nggak yakin pulangnya masih hidup. Lha wong orang-orang Ahmadi yang mau shalat 'Ied aja nggak boleh sama FPI, masjidnya dirusak dan pemeluknya diintimidasi akan di"Cikeusik"kan. Apalagi sama blantik-blantik modern, pedagang ternak masa kini. Mereka kan banyak menangguk untung dari cerita "anak nakal" itu. Mosok ya mau dikurangi to untungnya gara-gara provokasi cewek yang nggak jelas agamanya apa?! Tapi serius. Saya memang nyinyir. Saya suka protes di tulisan. Itu karena saya nggak bisa ngerti. Tapi saya nggak cari masalah. Saya cari penyelesaian. Jadi, dengan segala kerendahan hati, saya minta, duhai sidang pembaca (kalau memang ada yang baca), untuk ngajarin saya supaya saya bisa paham. Silakan bantai argumen saya dengan apapun, asal masih bisa saya cerna. Tapi tolong pakai bahasa saya, bukan bahasa langit berupa azab neraka atau semacamnya. Dan saya rasa meluangkan waktu untuk menerangi jalan pikiran saya yang lemot ini adalah kurban paripurna yang pasti akan diterima seru sekalian alam. Monggo, saya tunggu pencerahannya di kolom komentar yang tersedia. Saya pasrah… Oh, hampir lupa. Selamat Idul Adha! (=
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H