Lihat ke Halaman Asli

Seni Melawan Korupsi

Diperbarui: 11 Juni 2017   11:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anita Rachman/The Wall Street Journal

"Kalau Indonesia kelak merdeka, negara kita tidak akan kejam". "Mudah-mudahan, Tik." "Tidak boleh mudah-mudahan, Pap. Harus." (Romo Mangunwijaya, Burung-burung Manyar: 1981)

Setelah Indonesia merdeka, nyatanya para pemangku kepentingan di negari ini begitu "kejam". Para pemangku kepentingan demen mendewa-dewikan korupsi. Orang gandrung dengan yang namanya korupsi. Korupsi terus merebak di semua sektor kehidupan dan merongrong kewarasan peradaban.

Korupsi tumbuh subur. Dari hari ke hari ia makin tampil ciamik, genit, elok, lihai dan cantik siap memangsa dan memikat siapapun yang tak tahan dengan daya pesonanya. Ia ibarat sosok gadis cantik yang memiliki mantra rayuan maut dan pada saat yang sama bisa mengejawantah dalam "roh" yang menyusup dan menjangkiti hati nurani. Ia begitu licik, namun tetap elok dan memesona.

Korupsi tumbuh subur di lahan subur karena buruknya penegakan hukum dan praktik kongkalikong serta pat gulipat. Praktik menyeleweng ini dengan estetis pernah dituangkan mendiang WS Rendra dalam karyanya "Pantun Koruptor": Kalau ada sumur di ladang/Jangan diintip gadis yang sedang mandi/Koruptor akalnya panjang/Jaksa dan hakim diajak kompromi//Berburu ke padangdatar/Mendapat janda belang di kaki/Koruptor sakit diijinkan pesiar/Uang rakyat dibawa lari//Berakit-rakit ke hulu/Berenangnya kapan-kapan/Maling kecil sakit melulu/Maling besar dimuliakan.

Penyair Wiji Thukul pun pernah mengungkapkan keganasan dan kelihaian korupsi dalam karyanya "Momok Hiyong": bikin kacau dia ahlinya/akalnya bulus siasatnya ular/kejamnya sebanding nero/sefasis hitler sefeodal raja kethoprak//luar biasa cerdasnya/di luar batas culasnya//emas doyan hutan doyan/kursi doyan nyawa doyan/luar biasa.

Saking gawat, genting dan daruratnya korupsi, Indonesia pun menghadapi krisis kebudayaan yang sangat genting. Tantangan besarnya yaitu bagaimana mengembalikan nilai "perang lawan korupsi" di jalurnya. Dengan demikian, seni tidak boleh melempem.

Selama ini, publik dininabobokkan dengan hiruk-pikuk konflik politik yang mengeliminir daya kritis dan refleksi. Publik disuguhi pertunjukan yang tidak lucu dan mendistorsi apa yang sesunggguhnya harus diketahui. Rakyat hidup di ranah rumor dan gosip. Publik banyak dijejali oleh media dengan intrik konflik yang mendegradasi nilai.

Krisis yang senyatanya terjadi dewasa ini adalah krisis kebudayaan. Apa yang dipertontonkan para elit sekarang ini membahayakan sistem nilai yaitu bahwa tindakan korup dibenarkan dan bahkan dilindungi oleh sistem yang ada.

Di hadapan korupsi, nilai gerakan antikorupsi pun lantas terlarang karena mengganggu stabilitas. Benar-salah, hak atau bukan hak, keadilan atau kesejahteraan adalah sistem nilai yang menjadi pertaruhan ke depan. Namun cilakanya, manusia dewasa ini kehilangan daya refleksinya sehingga tindakan yang salah bisa benar, juga karena sistem hukum atau politiknya memungkinkan.

Jalan seni ditempuh para seniman karena di dalamnya termaktub kemampuan reflektif yang bisa membangunkan kesadaran betapa pentingnya memberangus korupsi hingga ke akar kebudayaan. Jejaring dan masivitas gerakan seni sebagai sarana perlawanan face to face virus korupsi menjadi efektif karena seni memiliki nalar dan daya reflektif yang akan memasuki relung-relung kesadaran publik guna melawan tangan-tangan korupsi yang sistemik dan banal demi terjaganya kewarasan peradaban.

Karena kehadirannya telah begitu masif, kasar dan banal makanya dituntut suatu perlawanan yang banal pula dalam gerakan yang masif namun tetap harus terjaga estetisitasnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline