Pada Minggu malam, 20 Oktober 2024, Presiden Prabowo Subianto resmi mengumumkan susunan Kabinet Merah Putih. Salah satu perubahan yang menarik perhatian adalah pembentukan Kementerian Usaha Kecil dan Menengah (Kementerian UKM) sebagai kementerian yang baru. Sebelumnya, usaha kecil dan menengah (UKM) berada dibawah naungan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kementerian KUKM). Pada Kabinet Merah Putih, koperasi dan UKM dibagi menjadi dua kementerian terpisah, yakni Kementerian Koperasi dan Kementerian UKM. Pemisahan dan pembentukan Kementerian UKM ini dapat dipandang sebagai salah satu langkah strategis Pemerintah dalam memperkuat sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di Indonesia, yang hingga tahun 2022 tercatat memiliki lebih dari 60 juta pelaku usaha. Namun, menjadi pertanyaan besar, apakah pemisahan Kementerian Koperasi dan UKM menjadi dua kementerian merupakan langkah strategis yang tepat, efektif dan dapat menjadi "obat mujarab" untuk memperkuat koperasi dan UMKM?
Tepat atau tidaknya pemisahan Kementerian KUKM akan terjawab sepenuhnya setelah kedua kementerian tersebut telah benar-benar bekerja. Namun, sejak saat ini, ketepatan keputusan tersebut sudah mulai bisa diukur. Setidaknya ada dua poin utama yang dapat dijadikan tolok ukur: pertama, kinerja terdahulu dan kedua, sasaran strategis yang ingin dicapai di masa depan.
Indikator/ukuran yang digunakan untuk melihat capaian kinerja terdahulu salah satunya menggunakan ukuran kontribusi koperasi dan UMKM terhadap perekonomian nasional melalui data kontribusi koperasi dan UMKM terhadap produk domestik bruto (PDB). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, kontribusi koperasi terhadap PDB tercatat sebesar 6% atau setara dengan seribu triliun, sedangkan UMKM berkontribusi sekitar 60% atau setara dengan sembilan ribu triliun. Secara keseluruhan, kontribusi gabungan koperasi dan UMKM mencapai 66%, dibandingkan dengan kontribusi BUMN dan kelompok usaha besar yang berkisar sekitar 34%. Sekedar pemahaman, kelompok usaha besar merupakan entitas yang memiliki modal lebih dari 10 miliar rupiah, sedangkan usaha mikro, kecil dan menengah merupakan entitas dengan modal dibawah 10 miliar rupiah.
Meskipun kontribusi koperasi dan UMKM terhadap perekonomian terlihat signifikan, jika dibandingkan dengan BUMN dan pelaku usaha besar yang jumlah pelakunya jauh lebih sedikit, kontribusi koperasi dan UMKM terhadap PDB ternyata masih lebih kecil. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan dalam produktivitas dan daya saing antara koperasi, UMKM, dengan BUMN dan pelaku usaha besar. Kesenjangan ini menandakan bahwa ada potensi ekonomi yang belum sepenuhnya tereksploitasi dari koperasi dan UMKM. Hal ini memunculkan pertanyaan: apakah dengan memisahkan kedua kementerian, Kementerian Koperasi dan Kementerian UKM akan mendapatkan dukungan yang lebih efektif sehingga dapat meningkatkan daya saing dan kontribusinya secara substansial, ataukah ini hanya akan menambah lapisan birokrasi yang memperlambat perkembangan sektor-sektor tersebut?
Pada bagian sasaran strategis yang ingin dicapai di masa depan, Pemerintahan Presiden Prabowo memandang koperasi dan UMKM sebagai bagian strategis yang harus dioptimalisasi peran dan fungsinya. Namun, jika sasaran strategis tidak didukung dengan pemahaman teknis yang memadai, harapan untuk meningkatkan kinerja koperasi dan UMKM di masa mendatang akan sulit tercapai. Selama 20 tahun terakhir, Kementerian Koperasi dan UKM lebih banyak berfokus pada penguatan kelembagaan koperasi dan UMKM. Sementara itu, kebijakan teknis yang menciptakan ekosistem bisnis untuk koperasi dan UMKM lebih banyak berada di bawah kementerian teknis lain, seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta kementerian lainnya.
Keberhasilan Kementerian Koperasi dan UKM dalam meng-upgrade koperasi dan UMKM ke level yang lebih tinggi (scaling-up) tidak hanya tergantung pada penguatan kelembagaan, tetapi juga terbentur pada masalah yang lebih besar, yakni regulasi dan penciptaan ekosistem usaha berdasarkan sektor. Pengalaman menunjukkan bahwa koperasi dan UMKM sering kali kalah bersaing dengan usaha besar bukan karena kekurangan kemampuan, tetapi karena regulasi dan ekosistem bisnis yang tidak mendukung. Misalnya, dalam dekade terakhir, pemerintah kesulitan mengimbangi kemajuan teknologi yang menghasilkan banyak platform online, seperti TikTok dan Temu, yang dinilai mengancam keberlangsungan UMKM lokal. Selain itu, kebijakan impor pada beberapa komoditas, seperti komoditas tekstil, telah membuat UMKM terkait kesulitan bersaing. Kementerian Koperasi dan UKM tidak dapat secara efektif melindungi dan memperkuat koperasi dan UMKM dalam menghadapi tantangan-tantangan ini, karena kebijakan teknis terkait aktivitas usaha koperasi dan UMKM berada di luar wewenangnya. Dengan demikian, untuk meningkatkan daya saing koperasi dan UMKM, diperlukan koordinasi yang lebih kuat antar kementerian, serta reformasi regulasi dan kebijakan yang berfokus pada penciptaan ekosistem usaha yang lebih inklusif dan kompetitif bagi sektor-sektor ini.
Melihat kedua poin di atas, Kementerian yang membidangi koperasi dan UKM harus mampu memainkan peran yang lebih luas dan komprehensif. Kementerian tersebut tidak hanya perlu fokus pada penguatan kelembagaan koperasi dan UMKM, tetapi juga harus mampu menciptakan dan memperbaiki ekosistem bisnis yang kondusif bagi kedua sektor tersebut. Kedua pilar ini---kelembagaan dan ekosistem bisnis---saling berkaitan dan menjadi kunci dalam meningkatkan daya saing serta skala usaha koperasi dan UMKM di masa depan.
Jika kementerian ini terpecah menjadi dua entitas yang terpisah, yaitu Kementerian Koperasi dan Kementerian UKM, pertanyaannya adalah, apakah langkah tersebut akan benar-benar efektif? Pemisahan ini mungkin memberikan fokus yang lebih spesifik, namun juga berisiko menciptakan tantangan koordinasi dan potensi tumpang tindih kebijakan serta fragmentasi dalam koordinasi antar sektor. Untuk mencapai efektivitas yang diharapkan, dibutuhkan sinergi yang kuat antar kementerian dan kemampuan untuk merancang kebijakan yang holistik, yang tidak hanya memperkuat kelembagaan tetapi juga mengatasi hambatan regulasi dan menciptakan ekosistem bisnis yang mendukung pertumbuhan koperasi dan UMKM. Jika tidak, pemisahan ini justru bisa menghambat pencapaian tujuan yang lebih besar bagi kedua sektor tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H