Lihat ke Halaman Asli

Gemilang Roberto

www.solotrip.id

Overland to Flores Part II : Waerebo - Kelimutu National Park

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14310138541583009201

[caption id="attachment_415835" align="aligncenter" width="553" caption="Overland to Flores Part II : Waerebo - Kelimutu National Park"][/caption] Masih cerita tentang trip saya di Flores. Mudah-mudahan belum bosan ya. Kalau Part I lebih banyak setting-nya di Pantai, maka disini akan banyak bukit dan dataran tinggi, lebih hijau. Nisrina dan Moga harus kembali ke Bandung, sedangkan kami bertiga lanjut menuju Waerebo. Berangkat pada hari yang sama setelah kembali dari TN Nasional Komodo. Dengan alasan efisiensi, kami menyewa mobil dan berangkat jam 21.00 WITA. Kali ini kami berangkat diantar oleh warga lokal, namanya Bang Emil.

Labuan Bajo - Waerebo

Tujuh jam perjalanan dari Labuhan Bajo menuju Dange, desa terakhir sebelum Waerebo. Jalannya sangat gelap, tidak ada lampu penerangan, berbeda sekali dengan di Jawa. Jika pernah lewat jalan di kawasan Batu arah Ngantang, berkeloknya hampir sama. Bedanya, jalan di Flores gelap dan masih rusak (sedang dalam masa perbaikan). Malam hari dan berjam-jam dijalan sudah pasti saya tidur (atau mungkin pingsan ya, hehehe). Sama sekali tidak terasa, tiba-tiba jam 03.00 dini hari kami sudah sampai di Dange. Too lazy to wake up, lagipula masih terlalu gelap. Tidur lagi. Setelah langit mulai terang, kami segera berangkat. Kira-kira pukul 06.00 WITA. Jarak yang harus kami tempuh dari lokasi pemberhentian kendaraan adalah 9 km (7 km uphill 2 km flat). Lumayan yah, untuk orang yang baru saja selesai bermalas-malasan selama 3 hari di pantai. Dalam perjalanan, tidak sengaja kami bertemu dengan Pak Jeremias, warga asli Waerebo. Pagi itu, Pak Jeremias naik dari Dange untuk memanen kopi di dekat rumahnya di Waerebo. Jadilah beliau guide dadakan kami. Perjalanan cukup berat, tapi tidak begitu terasa karena suasananya sangat menyegarkan. Kami bahkan bertemu Burung Ngkiong yang hanya ada di Flores. Ukurannya kecil sekali, sulit terlihat tapi punya suara yang sangat merdu. [caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="Selamat pagi, Dange!"]

as

[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="Overland to Flores Part II"]

aaaa

[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="420" caption="Melewati Sungai Pertama"]

aa

[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="Yah, misfokus .. sampai di pos 1"]

ddd

[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="538" caption="Jembatan sungai kedua"]

dd

[/caption] Kepercayaan penduduk Desa Waerebo kepada leluhur sangat terjaga hingga saat ini. Salah satu yang disampaikan Pak Jeremias, jangan mengambil gambar (video atau foto) Waerebo sebelum melakukan upacara adat penyambutan tamu (bahkan ini tertulis dalam peraturan resmi wisata disana). Berdasarkan cerita Pak Jeremias, tidak sedikit wisatawan yang tidak menurutinya, akibatnya gambar dalam kamera mereka hilang atau berkabut atau tidak dapat dilihat saat tiba dirumah.

Tips :

Soal kepercayaan adalah hak dasar setiap orang. Namun jangan pernah lupa, sebagai traveler kita hanyalah tamu di 'rumah' orang lain. Tentu kita harus menghormati budaya dan tradisi sang 'pemilik rumah'. Akan sangat menyenangkan jika kita datang dengan baik dan disambut dengan baik juga. So, be polite and respect people wherever we go. Sekitar 100 meter sebelum sampai di desa, tamu harus berhenti di sebuah rumah pos terakhir untuk membunyikan bel dari bambu. Bunyi bel menandakan bahwa akan ada orang asing atau tamu yang datang, penduduk lokal akan bersiap untuk menyambut kedatangannya. *semua foto dibawah ini, saya ambil setelah upacara adat. [caption id="" align="aligncenter" width="418" caption="Overland to Flores Part II"]

dd

[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="Dari atas pos terakhir kita sudah bisa melihat desa Waerebo"]

ddd

[/caption] Dari atas pos terakhir kita sudah bisa melihat desa Waerebo. Setelah kurang lebih tiga jam treking, akhirnya kami sampai juga di Desa Waerebo. Udaranya dingin dan fresh. Tenang dan sangat damai. Dari kejauhan sudah terlihat rumah-rumah kerucut seperti keong yang sangat khas. Mereka menyebutnya Mbaru Niang, rumah adat desa Waerebo, Manggarai Timur. Desa ini telah mendapatkan penghargaan dari UNESCO. Total ada 7 rumah kerucut, yang terbesar berada ditengah adalah rumah induk. Dipelataran, ada tumpukan batu melingkar seperti panggung tempat persembahan saat upacara adat. [caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="Mbaru Niang, Waerebo"]

dd

[/caption] Sesuai adat, kami harus terlebih dahulu menuju ke Rumah Gadang (rumah induk tempat tinggal ketua adat) untuk melakukan upacara. Pak Jeremias membantu kami untuk berkomunikasi dengan ketua adat, namanya Pak Alex. Upacaranya sederhana. Setelah masuk dan dipersilahkan duduk, Pak Jeremias mewakili kami berbicara dalam bahasa Manggarai Timur kurang lebih seperti ini : Selamat pagi, saya mengantarkan tiga orang tamu dari Malang dan Surabaya. Mereka mohon agar dapat diterima disini oleh penduduk dan para leluhur. Mohon agar perjalanan selama di Waerebo lancar dan dapat pulang dengan aman. Ketua adat kemudian membacakan doa-doa kepada leluhur dalam bahasa Manggarai Timur. Selesai berdoa, lalu menjawab permintaan yang disampaikan Pak Jeremias dalam bahasa yang sama, artinya kurang lebih : Saya telah mendoakan kalian. Leluhur telah menerima kedatangan kalian dengan baik. Kini, kami menyambut kalian bukan lagi sebagai tamu, melainkan bagian dari penduduk Waerebo. Kalian juga akan dilindungi, semoga selalu selamat hingga perjalanan kembali dari sini. Setelah itu kami menyerahkan uang sebagai simbol persembahan. [caption id="" align="aligncenter" width="504" caption="Bersama Pak Alex, ketua adat Waerebo"]

sss

[/caption] Setelah upacara adat, kami dipersilahkan untuk berkeliling desa, namun sebelumnya diajak ke Rumah Tamu untuk minum kopi bersama. Kopi khas Waerebo ada 4 macam, Arabica, Robusta, Kolombia, dan Unggul. Rasanya lebih mantap (entah karena suasana atau proses yang membuat rasa kopi berbeda). Rumah tamu biasa digunakan untuk menyambut tamu yang datang dan disewakan bagi mereka yang ingin bermalam disini. Hanya ada 1 ruangan dalam rumah dengan kasur berlapis anyaman rotan, bantal, dan selimut untuk tidur para tamu. Saya mencobanya dan ternyata nyaman sekali. Setelah minum kopi, saya diajak pergi ke dapur untuk belajar masak bersama ibu-ibu disana. Sebenarnya lebih banyak ngobrol dan bercanda sih daripada belajar masak. Dapur masih sederhana, mereka menggunakan tungku batu dan kayu sebagai bahan bakar. Sayur-sayuran yang dimasak dipetik dari kebun atau hutan disekitar desa. Telur dan daging sebagian besar juga hasil ternak mereka sendiri. Setelah matang, kami makan bersama-sama. Mereka tidak akan pernah membiarkan tamu pulang tanpa memberi makan, catat itu. Jadi makanlah yang kenyang, masakannya enak. [caption id="" align="aligncenter" width="427" caption="Overland to Flores Part II"]

aa

[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="490" caption="Overland to Flores Part II"]

aa

[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="490" caption="Overland to Flores Part II"]

xx

[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="432" caption="Menu of the day by chef Martina"]

ddd

[/caption] Setelah makan, saya berkeliling desa. Sebenarnya sangat kecil, hanya ada 7 rumah kerucut dan beberapa rumah 'normal'. Sebagian penduduk sudah pindah ke Dange untuk bekerja dan sekolah. Mereka akan kembali ke Waerebo saat upacara adat atau menengok anggota keluarga mereka yang tinggal disana. Tidak ada listrik disini, listrik berasal dari mesin diesel dan hanya menyala pada malam hari. Tidak ada sinyal HP, sudah pasti mereka hidup normal tanpa gadget. Bapak-bapak pergi ke kebun atau mengurus ternak, kadang turun ke Dange untuk menjual hasilnya dan membeli keperluan. Ibu-ibu memasak, mencuci pakaian, menjemur kopi dan rotan lalu membuatnya jadi kerajinan tangan. Anak-anak yang polos bermain layaknya saya bermain 10-15 tahun lalu, tanpa game elektronik. Saya membawa sedikit cokelat untuk dibagikan kepada anak-anak, ternyata ibu-ibu juga suka cokelat. Biasanya ibu-ibu mengunyah sirih sampai sebagian besar bibirnya berwarna merah. Hari itu gantian, saya tukar cokelat saya dan mencoba sirih. Hehehe, rasanya getir dan aneh. Semua orang yang saya temui disana sangat sederhana dan ramah. Mereka sangat baik dan luar biasa menghargai tamu. Berinteraksi bersama mereka semua membuat saya bahagia sebahagianya. [caption id="" align="aligncenter" width="504" caption="Overland to Flores Part II"]

sss

[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="490" caption="Overland to Flores Part II"]

sss

[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="424" caption="Overland to Flores Part II"]

dd

[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="448" caption="Overland to Flores Part II"]

gg

[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="452" caption="Aktifitas mereka dan saya, betah saya disini."]

fff

[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="430" caption="Overland to Flores Part II"]

ff

[/caption] Karena harus melanjutkan perjalanan, kami pamit. Perjalanan turun kami tempuh satu setengah jam dengan berjalan sangat cepat mengejar waktu. Sebenarnya saya masih betah disini. Suatu saat, saya ingin kembali lagi. Terima kasih sambutannya, Waerebo. [caption id="" align="aligncenter" width="490" caption="Beruntung bertemu Pak Jeremias, terima kasih"]

ss

[/caption]

Tips :

Berbagi tidak ada ruginya. Bila memungkinkan, bawalah sesuatu untuk dibagikan. Sekecil apapun, mereka akan sangat menghargai pemberian kita dengan antusias. Bukankah dengan begitu membuat kebahagiaan kita menjadi dua kali lipat?

(Keyword rute : Labuan Bajo - Lembor - Dange - Waerebo / Total Waktu : +- 7 jam dengan kendaraan dan 3 jam treking - one way)

Dange - Ruteng - Moni - Kelimutu National Park

Semalam, karena tidur kami jadi tidak tahu medan perjalanan selama tujuh jam. Saat siang hari ternyata perjalanannya penuh dengan view cantik. Banyak pantai, sawah, dan perbukitan. [caption id="" align="aligncenter" width="504" caption="Dange"]

ss

[/caption] Setelah 4 jam, kami sampai di Lembor. Saya berpisah dengan 2 teman saya yang harus pulang lebih dulu dan sedangkan saya ingin ke Kelimutu. Saya pikir sudah sejauh ini, nanggung saya pulang sebelum kesana. Ada teman berkata, belum ke Flores kalau belum ke Kelimutu (secara, uang kertas saja pilih Kelimutu sebagai icon). Saya tahu, perjalanan saya akan sangat panjang. Dari Lembor, saya menuju ke Ruteng dengan menggunakan bus umum. Perjalanannya hanya sekitar 1,5 jam. Sore, jam 18.00 WITA saya sampai di Ruteng dan transit di penginapan kecil sekitar terminal (karena kendaraan hanya ada saat pagi-siang). Menghabiskan waktu di Ruteng, saya mengumpulkan informasi untuk ke Kelimutu. Karena saya sendirian, maka harus memperhitungkan waktu dan biaya yang efisien. Stigma yang ada dipikiran kebanyakan orang, semakin ke timur Indonesia, orangnya semakin menakutkan. Meski sebagian darah saya berasal dari timur, saya pun sempat berpikir begitu. Apalagi saya perempuan dan sendirian. Kenyataan menepis pemikiran saya itu. Entah sedang beruntung atau bagaimana, sejauh perjalanan saya di Flores, belum ada satupun saya menemuiorang jahat. Bahkan meski perawakan atau cara bicara mereka menakutkan, mereka lebih tulus dari yang saya bayangkan. Disinilah serunya jadi solo backpacker, bertemu dengan banyak orang. Secara otomatis kita akan terlatih peka, mana orang yang baik dan mana yang jahat. Jagalah sikap positif dan tetap waspada. Jangan segan bertanya, tapi jangan mudah percaya. Paling penting, jangan terlihat bodoh. Hehehe. Pagi hari saya harus berangkat ke Moni (desa terdekat dengan Kelimutu). Mempertimbangkan waktu dan biaya, travel (agen terpercaya : Gunung Mas) menjadi alternatif transport pilihan saya. Berangkat tepat pukul 07.30 WITA. Menuju Moni dari Ruteng saya harus bersabar dalam 10 jam perjalanan melewati Borong, Aimere, Bajawa, dan Ende. Jangan berharap medan yang lurus. Jalanan seperti ular berkelok-kelok dan sebagian besar sedang diperbaiki. (Optional : menggunakan bus umum jauh lebih hemat, tapi sering berhenti dan waktu tempuh lebih lama) Travel saya berhenti di Aimere untuk makan siang dan beli bakso (saya kangen sekali makan bakso Malang). Taukah bahwa di Aimere adalah penghasil Sopi atau Moke? Sopi atau Moke adalah minuman beralkohol terbaik khas Flores yang terbuat dari pohon lontar atau enau. Bagi masyarakat Flores minuman tersebut adalah lambang persaudaraan. [caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="Pelabuhan Aimere"]

gggg

[/caption] Lagi-lagi saya beruntung. Dalam perjalanan, saya bertemu dengan Dimas dan Sam mereka mereka dari London dan menuju ke Maumere. Saat ngobrol mereka cerita sebenarnya ingin mampir ke Kelimutu jika memungkinkan (karena sebenarnya mengejar pesawat Maumere - Sumba jam 2 siang). Estimasi saya, mereka masih punya cukup waktu untuk ke Kelimutu. Saya tawarkan untuk bergabung dan sharing. Mereka sangat senang menerima ajakan saya. Jadilah kami bertiga sama-sama menuju ke Moni. Tiba di Moni jam 17.00 WITA, Pak Yoris, driver travel yang baik hati membantu kami dengan beberapa pilihan penginapan. Saya akhirnya mendapatkan kamar di Penginapan Hidayah, lokasinya masih terbilang paling dekat ke kawasan Kelimutu. Setelah yakin dengan harga dan fasilitas penginapan, saya janjian dengan Pak Yoris untuk penjemputan menuju Ruteng besok pagi. Penginapannya sangat nyaman, tempat tidur lengkap dengan kamar mandi air panas didalamnya. Iya, Moni adalah salah satu daerah yang dingin di Flores. Sang pemilik penginapan dan keluarganya memperlakukan kami dengan sangat baik. Namanya Pak Brian. Ini kali pertama kami semua bertemu, tapi rasanya sudah seperti kenal lama saat ngobrol. Kebetulan sore itu ada pesta pra-pernikahan salah satu keluarga Pak Brian, lokasinya cukup dekat dengan penginapan. Kami bertiga diundang kesana oleh Pak Brian dan keluarga, katanya agar tahu pestanya orang Moni. Daging babi jadi menu andalan di pesta, moke juga tidak ketinggalan. Makan bersama. Babi kuahnya enaaak. Ada satu menu babi yang saya tidak ingat namanya. Mereka bilang ini menu paling lezat di Moni yang terbuat dari kulit babi dipanggang diberi bumbu dan yang spesial adalah darah babi. Sederhana, hangat, dan akrab. Mereka semua termasuk saya bernyanyi dan berdansa bersama hingga kami pulang untuk istirahat. Ah, orang Moni punya suara yang bagus dan pandai berdansa. [caption id="" align="aligncenter" width="490" caption="Mari makan bersama"]

sss

[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="406" caption="Menu paling spesial kesukaan orang Moni"]

aaa

[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="490" caption="Semua di Moni mungkin adalah penyanyi profesional (menurut saya)"]

sss

[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="448" caption="Duo nona manis Moni"]

sss

[/caption] Kami harus bangun pagi-pagi untuk mengejar sunrise. Jam 04.15 WITA diantar Pak Brian dengan motor (Dimas & Sam juga dengan motor) kami berangkat ke Kelimutu. Jaraknya sekitar 12 km atau 1 jam perjalanan dengan motor. Membayar tiket masuk di pemberhentian loket dan berhenti di tempat parkir. Kemudian kami lanjut berjalan kaki sekitar 30 menit untuk sampai di summit. Sudah ada rute dan jalan beraspal untuk sampai ke puncak, beberapa seperti tangga. Tepat saat matahari terbit, saya sampai di puncak. Ada monumen Bung Karno di puncak. Dulu saat diasingkan di Ende, Bung Karno pernah datang ke Kelimutu. Menjelang adzan subuh, beliau menunaikan shalat di puncak dan kini dibangun menjadi Monumen Bung Karno. Saya tidak berhenti tersenyum. I finally coming here. Duduk di atas monumen menghadap ke arah matahari terbit, memandang 3 danau yang memang warna airnya tidak sama. Tidak lupa saya putar lagu Ivan Nestorman, judulnya Kelimutu. Tidak bicara, tidak melakukan apa-apa, hanya menikmati saja. Istimewa. Danau di Kelimutu masing-masing punya nama, Tiwu Nuamuri Koo Fai (danau orang muda) berwarna biru tosca muda yang bersebelahan dengan Tiwu Ata Polo (danau orang jahat) berwarna cokelat tua. Satu lagi atak terpisah, namanya Tiwu Ata Mbupu (danau orang tua) berwarna biru atau hitam. Warna air danau bisa mengalami pergantian yang dikaitkan dengan kepercayaan masyarakat. Sayang sekali memory kamera saya penuh. Hiks. Tidak lagi bisa ambil banyak gambar, secukupnya saja. Bahkan sampai foto dengan kamera teman-teman dari Jakarta (Yoga & friends), terima kasih yaa. [caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="Ooo .. Kelimutu"]

ccc

[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="Tiwu Ata Mbupu"]

aaa

[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="518" caption="Saya, Tiwu Nuamuri Koo Fai, dan Tiwu Ata Polo"]

ss

[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="512" caption="Kiri ke kanan : Dimas - Yoga - Saya - Sam - Teman Yoga"]

dddd

[/caption] Kalau bukan karena Kelimutu, kami semua tidak akan saling bertemu dan mengenal. [caption id="" align="aligncenter" width="504" caption="Good morning, Moni. Benar-benar ada kolam air panas alami di area sawah ini"]

ss

[/caption] Dimas dan Sam harus segera ke Maumere mengejar pesawat, saya kembali ke Labuan Bajo via Ruteng untuk kemudian pulang. Kami turun pukul 07.45 lalu mampir di sebuah sawah yang punya sumber mata air panas. Setelah itu kembali ke penginapan dan berpisah. Dimas dan Sam membayar semua biaya penginapan dan ongkos motor termasuk untuk saya. Kata mereka, itu tanda bersyukur bertemu dengan saya dan keinginan mereka ke Kelimutu bisa terwujud. Apalagi ini? Rejeki backpacker mungkin ya. Thankyou Dim and Sam, may you have a nice trip on Sumba.

Moni - Ruteng

The last part of my trip and realise that I should back to home is making me sad. Pak Yoris datang menjemput saya di Moni jam 09.30 WITA. Selesai berpamitan dengan keluarga Pak Brian, Dimas, Sam, dan Yoga, saya langsung berangkat. Mereka semua bilang saya gila, perempuan berangkat sendirian 14 jam dari Labuan Bajo ke Moni hanya untuk beberapa jam di Kelimutu dan langsung kembali lagi. Bagi saya itu worth it. Saya memimpikannya hampir setahun, bahkan foto teman yang dikirimkan kepada saya disini masih saya simpan di HP. Saya ingin all out lah. Andai saya punya lebih banyak waktu, saya mungkin tidak akan gila. Hehehe. Lagi, rute yang sama. Saya menghabiskan kali ini lebih dari 10 jam perjalanan dari Moni ke Ruteng. Tetap saja, bagi saya tidak begitu terasa melelahkan. Saya semangat walaupun jalannya luar biasa berkelok, berdebu, dan seperti tidak berujung (saking panjangnya). Sepanjang perjalanan saya banyak ngobrol dengan Pak Yoris. Melewati Ende, tempat pembuangan Bung Karno. Terkenal dengan batu hijau dan bengkoang kecil-kecil. Ende daerah yang panas dan banyak memiliki pantai. Lalu masuk ke Bajawa yang berada di dataran tinggi dan bersuhu dingin. Disini kampung halaman Ivan Nestrorman (musisi indie Flores). Dari Bajawa kemudian masuk ke Aimere, panas lagi. Banyak pohon lontar yang diolah menjadi moke dan sopi. Terakhir saya sampai di Ruteng jam 21.30 WITA, iya artinya 12 jam. Saya harus sekali lagi transit di penginapan sebelum melanjutkan perjalanan besok pagi. *ternyata masih ada beberapa space dikamera saya untuk mendokumentasikan kondisi perjalanan. [caption id="" align="aligncenter" width="504" caption="Hanya ada 1 jalur jalan utama di sepanjang Pulau Flores, sebagian besar dalam perbaikan."]

dd

[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="512" caption="Mobil travel saya benar-benar melawati jalan ini pulang pergi"]

dd

[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="512" caption="Gunung Einere atau yang lainnya (kurang yakin), dari Bajawa"]

ddd

[/caption]

Ruteng - Labuan Bajo - Pulaaang

Berangkat pagi-pagi dan memilih bus karena sudah bosan dengan travel. Hehehe. Berangkat dari Ruteng jam 09.00 WITA, normalnya perjalanan hanya 4 jam tapi dengan bis tentu akan lebih lambat. Saya tiba di Labuan Bajo jam 14.30 WITA. Ada penyeberangan sore, jam 16.00 dari Labuan Bajo ke Sape. Saya batal membeli tiket tersebut karena saya pikir-pikir tidak efisien kalau berangkat sore, akan tiba di Sape larut malam dan susah mencari kendaraan atau penginapan disana. Saat akan mencari penginapan di Labuan Bajo, saya bertemu dengan sekelompok anak muda seusia saya, kami ngobrol. Mereka asli Jawa Barat. Sore itu mereka baru kembali dari Kampung Komodo dan akan pulang menuju Bandung dengan kapal sore. Mereka menawari saya untuk bergabung agar lebih mudah, saya terima tawaran mereka. Dengan rute yang sama, saya berangkat bersama mereka melewati 37 jam perjalanan kembali ke tanah Jawa. Tidak perlu sewa penginapan. Karena jumlah kami banyak, bisa lebih efisien dan hemat sekalipun kami harus sewa mobil carter. Sesama traveler, walaupun kali pertama bertemu kami cepat sekali akrab, apalagi ngobrol soal traveling. Saya merasa jadi bagian dari mereka, seperti bukan orang asing. Kami akhirnya berpisah saat sampai di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi. Saya masih melanjutkan 9 jam perjalanan menuju Malang. Saya akhirnya sampai di Malang tanggal 5 September 2014 jam 05.00 WIB dengan selamat. Puji Tuhan. [caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Sampai ketemu di Bandung : (Saya) - Ihsan - Wira - Fala - Indra - Reza"]

ss

[/caption]

(Keyword rute : Moni - Ruteng - Labuan Bajo - Sape - Bima - Sumbawa Besar - Pototano - Khayangan - Mandalika - Lembar - Padang Bai - Ubung - Gilimanuk - Ketapang - Surabaya - Malang / Total Waktu : +- 56 jam)

Perjalanan saya ke Flores berakhir dengan penuh kesan yang tidak akan bisa saya lupakan. Saya suka semua bagian dalam perjalanan ini. Saya suka alamnya. Tidak perlu dijelaskan, foto-foto mungkin sudah membuktikan meskipun aslinya jauh lebih keren. Gunung - pantai semua lengkap. Saya suka tantangannya, puluhan jam dengan situasi dan kondisi yang beragam dan menarik. Bahkan momen tidur di masjid dan di indomaret pun saya suka. Saya suka punya teman baru, bertemu dengan orang baru, diterima dan menerima. Dan yang paling saya suka adalah keramahan dan ketulusan masyarakat disana. Tidak bisa saya deskripsikan semuanya dalam tulisan saya ini, tidak akan cukup. Tapi semua itu akan selalu saya ingat, saya rindukan. Saya selalu ingin untuk datang kembali, terserah pada kesempatan. "Alam yang indah menyegarkan mata, masyarakat yang ramah menyegarkan hati, terima kasih telah memberikan keduanya" - saya untuk Flores- Sekali lagi saya sudah membuktikan (setidaknya pada diri sendiri), Indonesia itu cantik luar biasa. #Terima kasih sudah membaca. Ayo, jangan cuma baca, buruan berangkat .... ;)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline