Lihat ke Halaman Asli

Alda Gemellia Munawwaroh

member of Islamic Association of University Students

Kemelut Tipe Hatta-Problem Solving dan Soekarno-Solidarity Making dalam Diri Kader HMI

Diperbarui: 18 Juli 2021   14:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Himpunan mahasiswa Islam merupakan organisasi mahasiswa tertua di Indonesia. Lahir pada tanggal 05 Februari 1947 bertepatan dengan 14 Rabi’ul awal 1366 H di tengah hiruk-pikuknya persoalan negara. Kelahirnnya sangat dinantikan bagi mereka yang mengerti akan kebutuhan bangsa Indonesia saat itu. Oleh karenanya, HMI berdiri bukan tanpa sebab. Ia hadir memikul tanggung jawab besar, guna mencetak kader-kader berkualitas Insan Cita, kader-kader yang kelak menjadi penopang negeri ini, dan kader-kader yang dapat mengangkat derajat rakyat Indonesia, serta mengokohkan keislaman di bumi nusantara. Sebagaimana tertera dalam tujuan HMI yang sampai saat ini masih sering digaungkan di setiap kegiatan di himpunan, yakni “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam, dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil Makmur yang diridhai Allah swt”

Untuk mencapai tujuan tersebut, sudah tentu HMI mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Mulai dari pembentukan structural kepengurusan, pembentukan badan koordinasi-badan koordinasi, perumusan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, perumusan nilai-nilai dasar perjuangan yang kemudian disebut dengan NDP HMI, dan penetapan atribut-atribut HMI lainnya. Satu hal yang hingga saat ini masih menjadi senjata utama himpunan untuk mempertahankan komitmennya guna mencapai tujuan, yaitu Perkaderan. Sistem inilah yang senantiasa dirawat dan dijaga oleh himpunan untuk selalu tumbuh dan berkembang menjawab segala tantangan perubahan zaman. Bukan hal mudah menerapkan sistem perkaderan ini, diawal berdirinya HMI perkaderan belum sepenuhnya sesuai dengan yang diharapkan para penggagas himpunan. Banyak kendala yang dihadapi, seperti jumlah kader yang masih terbatas dan konstitusi himpunan yang masih belum kuat. Bahkan hingga saat ini meskipun perkaderan telah mengakar luas di seluruh Indonesia, akan tetapi semangat juang kader terasa sangat menurun.

Kini HMI telah berusia lebih dari setengah abad. Bukan lagi tua melainkan senja diusianya yang menginjak kepala tujuh. 74 tahun sudah Himpunan Mahasiswa Islam membersamai lika-liku kemerdekaan negara Indonesia. puncak ke-emasan himpunan pernah dicapainya, pun detik detik pembubaran himpunan pernah dilaluinya. Semangat juang yang membara pernah dialaminya saat membantu pemerintah untuk menghalau penjajah dan penumpasan Gerakan PKI. Orde baru menjadi saksi sejarah kekuatan HMI. Peningkatan kualitas pribadi kader menjadi focus utama setelah melewati masa-masa konflik eksternal. 

Pendidikan-pendidikan umum maupun agama gencar dilakukan semata-mata untuk mengukuhkan ke-Indonesiaan dan ke-Islaman. Namun sepertinya kini kader-kader himpunan banyak yang tidak menyadari lagi tugas dan tanggungjawabnya terhadap himpunan. Kader HMI seringkali terlena akan hal-hal positif di dalam himpunan. sehingga ia lupa bahwa masih ada tanggungjawab yang harus dilakukannya. Yaitu meningkatkan kualitas diri menuju Insan Kamil melalui kualitas-kualitas Insan Cita.

Alasan kemunduran ini sejatinya telah disampaikan oleh Agussalim Sitompul melalui bukunya, 44 Indikator kemunduran HMI. Bahwa kader HMI kini lebih condong memiliki karakter tipe Soekarno-Solidarity Making tanpa memupuk karakter tipe Hatta-Problem Solving. Hal ini pula lah yang melandasi terjadinya pertikaian di dalam tubuh HMI sendiri hingga mengakibatkan perpecahan HMI DIPO dan HMI MPO. 

Tidak hanya itu, saat ini sudah menjadi hal yang lumrah terdengar bahwa HMI condong kepada urusan politik negara. Sudah tentu hal tersebut bertentangan dengan fakta bahwa perjuangan HMI merupakan perjuangan kebenaran atau nilai-nilai kemanusiaan. Akan tetapi sebagai organisasi yang sudah banyak sekali menelan pahit manisnya dinamika politik di Indonesia, maka HMI tetap memiliki nilai resonansi politis. Kondisi yang demikian jika terus dibiarkan tanpa diimbangi dengan pembentukan kualitas moral pribadi kader yang baik, dapat mengakibatkan kerusakan di dalam tatanan internal tubuh HMI sendiri.

Contoh nyata kasus ini yaitu banyak sekali dijumpai strategi-strategi struktural komisariat untuk mendapatkan kader tanpa mengoptimalkan pembentukan kualitas pribadi kader. Sehingga tanpa disadari, hal ini berdampak pada tatanan struktural cabang. Banyak struktural cabang yang kini justru mengalami dualisme kepemimpinan. Berkaca pada pemerintahan Indonesia, kedua karakter tipe kepemimpinan ini tidak dapat dipisahkan demi kesuksesan politik dan pembangunan di Indonesia. 

Tipe kepemimpinan Solidarity Making merupakan tipe kepemimpinan penggerak masa seperti yang dilakukan oleh presiden petama Indonesia, Soekarno. Soekarno menggunakan tipe ini untuk menghimpun masyarakat Indonesia agar dapat menyatukan gagasan serta kemauan untuk menumpas penjajahan dan pemberontakan. Sedangkan untuk menata sistem adminstrasi negara dan permasalahan politik di Indonesia, Hatta memiliki peran yang sangat kuat dengan tipe kepemimpinan Problem Solving atau disebut juga tipe kepemimpinan administrator. Dari pemaparan tersebut, dapat diartikan bahwa karakter solidarity making diperlukan dalam ranah perjuangan menghadapi konflik eksternal. Sedangkan karakter problem solving sangat diperlukan untuk tatanan internal suatu organisasi.

Melihat kondisi Indonesia saat ini, sudah seharusnya HMI lebih fokus mencetak kader-kader dengan tipe Hatta-Problem Solving. Sudah sangat jelas tercermin dalam perubahan tujuan HMI sejak pertama dirumuskan hingga saat ini, bahwa ranah juang HMI dulu dan kini telah berbeda. Kini HMI benar-benar harus memperbaiki dan meningkatkan kualitas diri kadernya karena sudah tidak ada lagi alasan untuk mempertahankan kedaulatan negara, kebebasan beragama tak lagi mendapat ancaman, penguasaan ilmu pengetahuan yang tak lagi karena paksaan keadaan, melainkan karena kader HMI harus mengemban tugas yang lebih berat yakni melindungi kaum mustadh’afin dari kedzaliman-kedzaliman pemangku kekuasaan.

Salah satu cara yang dapat dilakukan HMI untuk mencetak kader yang bertipe Problem Solving, yaitu dengan melakukan perkaderan yang berorientasi kepada tujuan HMI. Perkaderan yang dilakukan harus mengupayakan pencapaian kualitas insan cita: ber-Iman, ber-Ilmu, dan ber-Amal. Pembentukan kualitas insan cita pada diri kader yaitu bermula dari pembenahan diri setiap individu dengan pembentukan kesadaran tauhid dan ibadah, kesadaran keilmuan, kesadaran emosi, kemampuan menilai diri sendiri, kepercayaan diri, keberanian, serta kemampuan memenej diri sendiri. Setelah pembenahan diri dilanjutkan dengan pencapaian kompetensi sosial, yakni pembenahan kesadaran sosial dan menejemen hubungan sosial. Jika kedua hal tersebut dapat diseimbangkan dalam diri kader, maka akan dijumpai kader-kader yang siap berada di setiap medan permasalahan.

HMI merupakan organisasi perjuangan yang perjuangannya merupakan perjuangan nilai-nilai kebenaran. Akan tetapi dalam perkembangannya, HMI tidak lepas dari dinamika politik bangsa. Oleh karenanya, kemampuan tipe Solidarity Making akan tetap terbentuk dalam diri kader meskipun perkaderan HMI saat ini terfokus kepada pembentukan kader dengan karakter Problem Solving. Dengan kata lain HMI harus mampu mencetak kader yang dapat menyeimbangkan kedua tipe kepemimpinan tersebut, sehingga akan tercapai masyarakat adil Makmur yang diridhai Allah swt sebagaimana dalam tujuan HMI.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline