ranting, burung-burungmengapung dan kencingSerupa titik debu
jatuh di sampul buku,
sementara sajak dan puisi
saling mengungsi,
menggendong masing-masing
para penyairnya sendiri
Dari yang lapar terkapar
Mabuk tersungkur
Hingga horni digauli eksistensi.
Dan di lain tanah,
sepasang sajak berpayung hitam
Murung bersama sisa mendung musim serupa.
Masih ada sisa luka
yang cedera di beranda sastra
Ketika tiang-tiang kata tak kuasa pulang
Kotak-kotak retak ubin susunan
Dan ranting-ranting puisi kering
meranggas jatuh di tubuh-tubuh angkuh.
Namun kata telah lelah
dipeluk nafsu-nafsu masyhur.
Di lain jalan Ia saksikan
Lusinan penyair mabuk
Menenggak ribuan kerat sajak
Tergeletak, terinjak hilang jejak.
Di kali serupa, Ia temukan
Sisa-sisa keringat syahwat
dan desah-desah penyair
ditindih gilir jabal senja
Dilumat syahwat ingin dan angan yang kuat.
Dan sesekali,
dalam pengungsian gendongan sajak
dengan suara serak, Penyair itu berkata,
"Meski lapar dan terkapar, biarkan aku menulis,
Meski setelah menulis, kata dan nyawaku habis."
Lalu penyair itu jatuh di lain tanah surganya.
Pada pucuk Ismail Samani
kaki pamir Tajikistan,
Dan pundak Pasifik Palung Mariana
Bisikan sebait puisi pada angin
biar tahu, aksara tak sebatas anu
Sastra telaga, lautan Kaspia tiada hingga
Pada desah nyi-nyir lubang matrimony
fonetik pekik kaum radiks,
Dan renjana maha mulia sang Ibunda.
Kecupkan selarik puisi pada senja
biar tahu, biar rasa
Kecupmu lebih hangat dari lembayung bukit merkuri violet lazuardi
Pada Bibi sosok panutan
Paman si sajak tajam,
Dan adik pemilik budi baik.
Tancapkan sebilah puisi di dada mereka
lapangkan. Luaskan. Seluas jagat sastra
Dan pada Kau sang pemilik malam
inilah sajakku untuk alam
biarkan puisi terbit layaknya matahari
tak peduli siapa, tertap tersinari
teratur mengatur jalur lajur abjad jati diri.
Dan di antara bukit tengah gurun maha karya
Sajak dan puisi mengubur penyairnya
dengan alas berlembar kertas
Bernisankan pena luka
dan bertabur wewangi diksi.
Saat itulah puisi usai, sampai di tanah surganya sendiri.