Kata orang, kita tak bisa menilai diri kita sendiri. Orang lain lah yang bisa menilai diri kita. Mungkin alasannya, kalau kita sendiri yang menilai diri kita, jatuhnya narsis, sombong, bohong dan munafik. Mungkin. Kita dinilai tidak bisa objektif yang berarti tidak adil. Lainnya adalah kita belum tentu tahu nilai dari yang telah kita lakukan. Apa yang kita lakukan, terutama terhadap orang lain, pasti menjadi penilaian orang terhadap kita. Nah, disinilah kita dianggap tidak bisa menilai yang kita lakukan itu benar atau salah. Tapi bukankah benar atau salah terkadang tergantung bagaimana orang melihat? Tergantung pula siapa yang menilainya alias subjektif. Setiap orang punya penilaiannya masing-masing. Benar bisa menjadi salah, salah bisa menjadi benar. Bahkan genosida bisa menjadi benar bila dilihat dari sudut pandang pihak yang melakukan genosida.
Bisa jadi ada benarnya kalau yang bisa menilai diri kita adalah orang lain. Namun itu tidaklah 100% tepat. Manusia diberikan otak untuk berpikir dan hati untuk merasakan. Setelah kita melakukan sesuatu akan ada mungkin yang namanya evaluasi. Disitulah waktu di mana kita menilai apa yang telah kita lakukan. Ada pula yang namanya perenungan atau merenung. Bagiku, ini merupakan langkah menilai atau langkah untuk "meneliti" diri dengan lebih dalam.
Biasanya perenungan bermula dari rasa penyesalan. Biasanya, meski tak selalu. Penyesalan biasanya datang ketika tindakan kita merugikan diri kita sendiri. lagi dan lagi: Biasanya. Lalu kita merenungi apa yang telah kita lakukan, mengapa perbuatan kita bisa merugikan diri kita. Selain penyesalan, perenungan menurutku didasari oleh kesadaran. Kalau seseorang tidak sadar, maka tidak ada yang namanya rasa menyesal untuk direnungi. Analoginya, merenung itu seperti kita bercermin.
Diperlukan keberanian dan kejujuran untuk bisa menilai diri sendiri. Tak semua orang berani untuk melihat ke dalam dirinya. Tak semua orang berani untuk jujur kepada diri sendiri. Pernah saya sebuah quote yang kurang-lebih isinya: Hal paling menakutkan dari menulis adalah ketika harus jujur tentang diri sendiri. Demikian pula soal menilai diri sendiri. Sebagian orang takut untuk jujur kepada diri sendiri. Takut bila mendapati, "apakah aku memang sejahat dan sekurang itu?".
Mudah bagi kita untuk mengakui/menerima kelebihan yang kita miliki, namun tidak bila itu soal kekurangan dan kesalahan. Disinilah diperlukan keberanian dan kejujuran untuk mengakuinya. Lebih jauh lagi, keberanian dan kejujuran akan bersambung kepada memaafkan, menerima dan bersahabat dengan diri sendiri. Mungkin berawal dari inilah kita bisa menilai diri kita secara objektif. Berat? Pasti. Menakutkan? Jelas. Namun memang itu yang harus dilakukan untuk menilai diri sendiri.
Otak dan hati harus seimbang. keduanya harus digunakan. Menurutku, tidak boleh hanya salah satu saja. Kadang, ada hal yang tak bisa dijelaskan oleh otak dan ada hal yang tak bisa dijelaskan oleh hati. Kadang, ada hal yang tak bisa dinilai oleh otak dan ada hal yang tak bisa dinilai oleh hati. Tidak perlu membedakan antara laki-laki dan perempuan untuk hal yang satu ini. Setiap manusia memiliki otak dan hati. Setiap manusia punya hak untuk memberikan persentase lebih pada salah satunya untuk "bermain". Namun, alangkah lebih baik bila keduanya seimbang.
Hasil akhir yang diinginkan dari menilai diri sendiri adalah menjadi diri yang lebih baik dan bijak. Tentunya juga membuat kita lebih tenang (dalam menjalani kehidupan).
Ahhhh sepertinya saya sedang meracau. Saya bukan seorang psikolog. Saya hanya ingin menulis yang ada di otak. Saya bisa benar, bisa pula kurang tepat dan salah.
Sekian.
***
Gemo Gibran