Lihat ke Halaman Asli

“Pejabat (Tak) Tahu Malu”

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh : Junius Fernando S Saragih*

Pasca tenggelamnya kapal feri Sewol yang mengakibatkan 187 penumpang tewas dan 115 penumpang masih belum ditemukan, Perdana Menteri Korea Selatan Chung Hong-won mengundurkan diri pada tanggal 27/04/14. Pasalnya mundurnya Chung Hong-won merupakan bentuk tanggung jawab atas lambatnya penanganan yang dilakukan oleh pemerintah.

Barangkali akan banyak tanggapan yang muncul merespon kemunduran Perdana Menteri Korea Selatan ini. Kendati demikian, harus diakui bahwa budaya malu dan mengakui kesalahan jauh lebih kentara dalam peristiwa ini. Setidaknya apa yang dilakukan perdana menteri korea ini adalah wujud kesadaran akan gagalnya ia menjadi seorang pemimpin sehingga merasa lebih baik merelakan tampuk kepemimpinan kepada orang yang jauh lebih mempuni dibanding dirinya.

Bila kita tarik ke republik ini, dalam periode kepemimpinan SBY-Boediono setidaknya ada dua pejabat publik yang menyatakan diri mundur dari jabatan yang sedang diembannya. Salah satunya Menteri Olah raga Andi Malaranggeng yang mundur dari jabatannya karena ingin fokus menghadapi kasus hukum setelah menjadi tersangka dalam kasus korupsi Hambalang. Selain itu, Menteri Perdagangan, Gita Wirjawan juga pernah mundur dari jabatannya untuk fokus mengikuti konvensi capres partai Demokrat.

Selain dua menteri ini, masih banyak pejabat publik kita yang enggan mundur kendati kegagalan kepemimpinannya sangat kentara di mata khalayak banyak. Masih hangat dalam ingatan kita tatkala Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi sempat berjanji akan mundur apabila hingga akhir 2012 E-KTP tidak tuntas. Pada kenyataannya, E-KTP sama sekali belum tuntas hingga kini. Betapa tidak, fenomena kisruhnya DPT pada pemilu baru-baru ini adalah parameter yang sangat akurat menandai kegagalan kebijakan E-KTP. Namun sayangnya janji yang terlanjur dilontarkan oleh pejabat publik ini tidak sanggup digenapi. Ini adalah potret pejabat publik kita yang sangat kontras bila dibandingkan dengan peristiwa mundurnya Perdana Menteri Korea Selatan.

Selain itu, kegagalan Menteri Pendidikan Muhammad Nuh dalam pelaksanaan Ujian Nasional misalnya. Masalah distribusi soal dan lembar ujian yang tidak tepat waktu, kualitas lembar jawaban yang rendah, hingga masih adanya kebocoran soal merupakan kesalahan yang tidak patut ditolerir, apalagi bila hal ini terjadi dalam dua tahun terakhir. Namun, sembari meminta maaf, alih-alih mundur dari jabatannya, Muhammad Nuh justru merespon masalah ini dengan menyalahkan pihak di luar pemerintah yang menjadi rekanan dalam pelaksanaan Ujian Nasional.

Di pihak lain, ada Aceng HM Fikri yang menang telak dalam pileg pada 9 April lalu. Kala itu, kita sempat dikagetkan dengan berita pemakjulan Bupati Garut, Aceng HM Fikri karena kasus pernikahan kilatnya dengan Fany Octora, gadis 18 tahun yang diceraikannya lewat SMS setelah menikah selama empat hari. Celakanya, pasca dimakjulkan karena alasan melanggar etika, mantan Bupati Garut ini justru dibiarkan masuk dalam daftar calon anggota DPD RI pada dapil Jawa Barat.

Tentu saja peristiwa ini sangat mengecewakan dan telah mengoyak rasa keadilan. Betapa tidak, seorang yang sudah dianggap tidak layak sebagai pejabat publik karena pelanggaran etika, dalam tempo yang singkat kembali menjadi pejabat publik di ranah legislatif. Sungguh muramnya wajah negeri ini, tatkala pembuat peraturan daerahnya adalah seseorang yang gagal menghargai etika. Celakanya lagi, duduknya Aceng HM Fikri di kursi DPD RI justru berkat kemauan masyarakat yang termanifestasikan dalam hasil pileg. Alih-alih mengharapkan seorang pejabat publik yang punya budaya malu, ternyata kita justru melanggengkan kepemimpinan seorang yang haus kekuasaan yang buta etika.

Entah siapa yang harus kita salahkan, apakah menyalahkan budaya lupa yang kerap menghantui masyarakat kita ataukah karena sedikitnya kader jujur bangsa ini yang mau bertarung di dunia politik. Bila memang kita merindukan pejabat publik yang melek etika, berbudaya malu, dan berintegritas barangkali kita tidak akan memilih sosok yang bertentangan dengan mimpi kita. Barangkali mata kita juga tidak terbutakan oleh sedikit uang yang mereka gelontorkan setiap kali pesta demokrasi digelar.

Sudah barang tentu dalam benak kita semua, mimpi akan pejabat publik yang lebih menyayangi negerinya dibanding fasilitas jabatannya terbentuk secara paripurna. Sayangnya, mimpi kita kerap dikalahkan oleh keraguan dan ketidakpercayaan kita akan keberadaan pejabat publik ideal dalam dunia yang nyata. Namun, apakah ada mimpi yang menjadi kenyataan tanpa ada usaha yang digelorakan. Mari kita tanya pada diri kita, apa menariknya menerima uang dari politisi, ketimbang menerima apa yang menjadi hak kita secara utuh, tanpa harus dijarah sana-sini?

Dan bila kita berani memimpikan seorang pejabat publik penuh integritas, punya budaya malu, dan melek etika, apa salahnya bila kita berusaha mendidik diri kita sendiri untuk mengantongi karakter itu. Negeri ini sureplus pengkritik, namun krisis orang yang berani bertarung melawan politisi busuk. Kita lebih sering mengatai politik itu kotor, lantas berusaha menjauh dibanding harus menceburkan diri dan membersihkan dunia politik semampu kita. Sementara, tatkala kita membiarkan dunia politik tetap diisi oleh mereka yang tidak bernurani, mungkinkah pejabat publik yang kita impi-impikan turun dari langit? Tentu saja tidak.

*Penulis adalah sarjana Ilmu Pemerintahan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline