Lihat ke Halaman Asli

Pemekaran Wilayah: antara Egoisme dan Tuntutan

Diperbarui: 16 Agustus 2018   14:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Gelar S. Ramdhani

Dalam suatu kesempatan bebrapa bulan yang lalu tepatnya Kamis, 23 Juni 2011. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan khawatir pada suatu masalah yang terjadi di negeri ini, adapun masalahnya adalah terkait beberapa pemekaran wilayah di Indonesia, hingga saat ini ada usulan 178 daerah otonom baru, 33 di antaranya adalah provinsi dan sisanya untuk kabupaten/kota (www.detiknews.com)

Pemekaran daerah sendiri secara filosofis dimaksudkan untuk meingkatkan kesejahteraan masyarakat (PP No 129 Tahun 2000). Politisi senior PDI-Perjuangan Pramono Anung, juga menjelaskan bahwa “Tujuan dari pemekaran wilayah adalah untuk memujudkan pemerintahan yang lebih efektif dalam menggerakkan ekonomi daerah dan peningkatan kesejahteraaan rakyat”, merujuk pada hal tersebut maka hal yang menjadi latar belakang keinginan suatu kelompok untuk memekarkan wilayah, pada umumnya dipengaruhi oleh faktor iklim sosial ekonomi dan politik pada suatu daerah tersebut. Misalnya saja, kurangnya pemerataan ekonomi pada suatu daerah, maka biasanya daerah yang merasa menjadi ‘anak tiri’ menuntut suatu pemekaran wilayah.

Pemerintah sendiri khususnya pemerintah pusat menganggap permaslahan ini ‘hitam putih’, jika mengacu pada contoh kasus tadi, pemerintah mana yang tidak menginginkan pemerataan ekonomi di setiap daerah? tapi di sisi lain memekarkan suatu daerah bukan hal yang gampang bagi. Pemerintah menyatakan jika terjadi pemekaran maka akan meningkat pula anggaran dana yang dibutuhkan, contoh kecilnya sebut saja gaji Bupati/Walikota misal yang tadinya hanya 1 Bupati tapi dengan adanya pemekaran harus dianggarkan pula untuk gaji 1 Bupati lagi, belum lagi pembangunan infrastruktur pada daerah baru, dan lain sebagainya.

Memang bukan masalah berarti sebetulnya, jika memang anggaran yang dikeluarkan untuk membentuk suatu daerah baru sebanding dengan apa yang dihasilkan dari daerah baru tersebut. Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) pada tahun 2005 telah melakukan penelitian secara parsial terhadap daerah-dareh yang baru dimekarkan. Hasinya menyatakan, pada sebagian besar wilayah memang dengan dilakukannya pemekaran suatu wilayah adanya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), akan tetapi meskipun terjadi peninkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) daerah yang dimekarkan masih ketergantungan dengan Dana Alokasi Umum (DAU), dan ironisnya disaat sekelompok orang menyuarakan pemekaran untuk kemaslahatan masyarakat akan tetapi hasilnya menurut penelitian BAPPENAS, masyarakat menilai tidak adanya peningkatan taraf kehiduoan baik dari segi ekonomi maupun lainnya ketika sebelum atau sesudah dimekarkan wilayahnya. Hal ini masyarakat menilai karena pemerintah daerah yang baru dimekarkan sibuk menata dan membangun infrastruktur kota, belum lagi para elite di daerah tersebut sibuk mencalonkan diri sebagai pemimpin daerahnya. (Apakah ini yang dinamakan ‘mercu suar’..?? Atasnama kesejahteraan rakyat tapi lagi-lagi rakyat yang jadi korban!)

Semakin suburnya primordialisme!

Terlepas dari masalah ekonomi, Semakin maraknya isu pemekaran wilayah, jika saya amati kebanyakan yang mengusulkan wilayah baru itu didasari karena dasar adat istiadat atau budaya regional itu, misalnya saja pada suatu regional bahasa atau budayanya berbeda dengan provinsi/kabupatennya, maka regional tersebut mengusulkan untuk menjadi kabupaten/kota atau menjadi provinsi sendiri.

Menilai permasalahan tersebut, kenapa harus ada pemekaran suatu wilayah dengan berlandaskan adat istiadat? mungkin saja hal itu dalam rangka menjaga nilai luhur adat istiadat daerahnya. Akan tetapi Untung Widyatmoko (Kapolres Banyumas) dalam suatu diskusi menjelaskan terkait pemekaran wilayah yang terjadi saat ini terkesan semakin menonjolkan rasa ke-akuan I (egoisme), yang mana masalah seperti ini jika diproyeksikan bisa berdampak pada menurunnya ketahanan nasional khususnya dalam bidang keamanan. Mengapa demikian? jika suatu daerah merasa adat istiadatnya yang terbaik bisa saja terjadi konflik antara daerah lain, karena jika berbicara terkait suku, agama, budaya sangat mudah sekali untuk diprovokasi oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab.

-------------------------------------------

Apabila anda ingin bersilaturahmi dengan penulis, silahkan bisa melalui:

-------------------------------------------




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline