JAKARTA-GEMPOL, Kasus-kasus korupsi yang menimpa politisi kita makin hari makin unik saja. Seperti ketika Nazaruddin melempar bola panas. Dia menguak identitas 'Ketua Besar' dan 'Bos Besar' dalam kasus dugaan suap wisma atlet. Nazaruddin yang menjadi terdakwa kasus itu menyebut 'Ketua Besar' adalah Anas Urbaningrum dan 'Bos Besar' adalah Mirwan Amir. Anas Urbaningrum merupakan Ketua Umum Partai Demokrat. Sedangkan Mirwan Amir merupakan Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR dari FPD. Istilah 'Ketua Besar' dan 'Bos Besar' muncul dalam pembicaraan Angelina Sondakh dengan Mindo Rosalina Manulang lewat BBM. Coba kita perhatikan hasil terbaru Lingkaran Survei Indonesia menunjukkan dukungan terhadap Partai Demokrat menurun tajam. Dari survei yang dilakukan pada 2 Juni hingga 11 Juni 2012, Partai Demokrat hanya mendapatkan dukungan 11,3 persen. Dukungan Demokrat merosot disebabkan karena partai itu gagal melakukan langkah cepat untuk menyelesaikan dua kasus besar, yaitu Wisma Atlet dan Hambalang yang selama ini menyandera. Dalam kasus ini nama Anas Urbaningrum dan Andi Mallarangeng yang diduga kuat terlibat kasus korupsi. Mereka adalah tokoh penting Partai Demokrat. Istilah korupsi yang berkembang pada kasus wisma Atlet lainnya adalah "Apel Malang", "Apel Washington", atau "Semangka". Kata-kata tersebut makin akrab karena menjadi istilah kode atau sandi terkait prilaku korupsi. Anggota Komisi X DPR RI Angelina Sondakh menerima uang sebesar Rp 5 Milyar yang diberikan dalam dua termin, yakni Rp 3 Milyar kemudian Rp 2 Milyar. Istilah tersebut mengarah kepada uang, semangka rupiah, apel rupiah, Washington dolar AS, pelumas rupiah. Istilah itu digunakan agar tidak vulgar. Dalam kasus suap terkait pembahasan APBD Kota Semarang tahun 2012, muncul istilah baru yaitu "susu kaleng", "nyam-nyam", dan "luwak" yang digunakan saat membahas suap untuk anggota dewan. Hal ini terungkap saat sidang dengan terdakwa Wali Kota Semarang Soemarmo Hadi Saputro. Susu kaleng adalah anggaran uang Milyaran rupiah. Saksi Zainuri menghitung platform anggaran Rp 10 Milyar yang akan disetor ke lima puluh orang anggota dewan. Sedang istilah nyam-nyam terungkap saat Kepala Sub Bagian Keuangan Protokoler Sekda Pemkot Semarang, Yustiningsih menjadi saksi. Menurut Yustiningsih istilah nyam-nyam untuk menjelaskan soal jatah duit untuk anggota DPRD. Sedang kan istilah luwak muncul dari penuturan pengacara Soemarmo, Rudy Alfonso. Dalam rekaman pembicaraan via telepon yang disadap Komisi Pemberantasan Korupsi, Dia pernah melarang anak buahnya untuk memberi duit ke anggota dewan. Dia bilang jangan melayani permintaan luwak-luwak itu. Maksudnya (luwak), ya si bandel yang meminta uang, yang bersangkutan dengan DPRD. Kasus-kasus istilah ini terungkap dalam penyebutan nama aktor-aktor yang terlibat kasus tersebut. Istilah ini kerap digunakan agar segala sepak terjang mereka tak terendus para penegak hukum. Apapun istilah yang koruptor gunakan, hendaknya para penegak hukum tidak loyo dan takut dalam membongkar kasus korupsi yang merugian negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H