JAKARTA-GEMPOL, Persoalan wakil menteri akhirnya diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam hal masih terkait dengan jabatan karier, jika seorang wakil menteri akan diangkat dalam jabatan karier dengan jabatan struktural (Eselon IA) maka pengangkatannya haruslah melalui seleksi, dan penilaian oleh Tim Penilai Akhir (TPA) yang diketuai oleh Wakil Presiden atas usulan masing-masing instansi yang bersangkutan.
Tim Penilai Akhir tersebut kemudian mengusulkan pengangkatannya kepada Presiden dalam bentuk penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) untuk kemudian dilantik oleh Menteri/Jaksa Agung/Kapolri dan pejabat yang setingkat sesuai dengan penempatan yang bersangkutan.
Menurut fakta di persidangan, para wakil menteri diangkat tanpa melalui prosedur tersebut dan pelantikannya dilakukan oleh Presiden sendiri di istana negara sehingga prosedurnya menggunakan prosedur yang berlaku bagi menteri, bukan prosedur yang berlaku bagi PNS yang menduduki jabatan karier.
Disini terlihat juga adanya nuansa politisasi dalam pengangkatan jabatan wakil menteri dari terjadinya perubahan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara sampai dua kali menjelang (Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2011, tanggal 13 Oktober 2011) dan sesudah (Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2011, tanggal 18 Oktober 2011) pengangkatan wakil menteri bulan Oktober 2011 yang oleh sebagian masyarakat dipandang sebagai upaya menjustifikasi orang yang tidak memenuhi syarat untuk 80 diangkat menjadi wakil menteri supaya memenuhi syarat tersebut.
Perubahanperubahan Perpres tersebut tampak dibuat secara kurang cermat sehingga mengacaukan sistem pembinaan pegawai sebagaimana telah diatur dengan peraturan perundang-undangan yang ada lebih dulu. Komplikasi legalitas dalam pengangkatan wakil menteri seperti yang berlaku sekarang ini, muncul juga terkait dengan berakhirnya masa jabatan.
Jika wakil menteri diangkat sebagai pejabat politik yang membantu menteri maka masa jabatannya berakhir bersama dengan periode jabatan Presiden yang mengangkatnya. Akan tetapi, jika wakil menteri diangkat sebagai pejabat birokrasi dalam jabatan karier maka jabatan itu melekat terus sampai dengan tiba masa pensiunnya atau berakhir masa tugasnya berdasarkan ketentuan yang berlaku untuk jabatan karier sehingga tidak serta merta berakhir bersama dengan jabatan Presiden yang mengangkatnya.
Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 yang menentukan bahwa wakil menteri adalah pejabat karir dan bukan merupakan anggota kabinet adalah tidak sinkron dengan ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008, sebab menurut pasal tersebut susunan organisasi kementerian terdiri dari atas unsur: pemimpin yaitu Menteri; pembantu pemimpin yaitu sekretariat jenderal; pelaksana tugas pokok, yaitu direktorat jenderal; pengawas yaitu inspektorat jenderal; pendukung, yaitu badan atau pusat; dan pelaksana tugas pokok di daerah dan/atau perwakilan luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Apabila wakil menteri ditetapkan sebagai pejabat karir, sudah tidak ada posisinya dalam susunan organisasi kementerian, sehingga hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil, yang berarti bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Timbulnya kekacauan implementasi atau masalah legalitas di dalam hukum kepegawaian dan birokrasi pemerintahan itu terjadi karena bersumber dari ketentuan Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang a quo81 maka menurut Mahkamah keberadaan Penjelasan tersebut justru menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dalam pelaksanaan hukum dan telah membatasi atau membelenggu kewenangan eksklusif Presiden dalam hal mengangkat dan memberhentikan menteri/wakil menteri berdasarkan UUD 1945 sehingga Penjelasan tersebut harus dinyatakan inkonstitusional.
Oleh karena keberadaan wakil menteri yang ada sekarang ini diangkat antara lain berdasar Pasal 10 dan Penjelasannya dalam Undang-Undang a quo, menurut Mahkamah posisi wakil menteri perlu segera disesuaikan kembali sebagai kewenangan eksklusif Presiden menurut putusan Mahkamah ini. Oleh sebab itu, semua Keppres pengangkatan masing-masing wakil menteri perlu diperbarui agar menjadi produk yang sesuai dengan kewenangan eksklusif Presiden dan agar tidak lagi mengandung ketidakpastian hukum.
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: Pokok permohonan beralasan menurut hukum untuk sebagian.
Akhirnya MK memutuskan bahwa: Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian; Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Menurut sebagian orang kasus ini membuat malu Presiden, akan tetapi ada juga yang mengatakan ini adalah salah DPR karena membuat UU tidak sinkron antara pasal dan penjelasannya.
Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan 20 wakil menteri (Wamen) harus meninggalkan jabatan mereka alias berhenti, karena payung hukum pengangkatan mereka inkonstitusional.
Akan tetapi juga membuka peluang bagi presiden untuk mengangkat Wamen, dengan catatan Keppres-nya tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang (UU) No.39/2008 tentang kementerian negara. Pasal 10 UU ini menegaskan bahwa yang dimaksud wakil menteri adalah pejabat karier dan bukan anggota kabinet.