Tengah malam sudah lewat, jadi ya ndak mungkin judulnya "Cerita Tengah Malam" yang berkesan horor. Tapi tak apalah, menuang isi dalam kepala memang tak terbatas oleh waktu. Trus apa hubungannya dengan MotoGP? Lha ya kan ini berbarengan dengan pagelaran perdana MotoGP 2012 yang dilangsungkan di Qatar sana. Numpang beken lah, siapa tau kalo judulnya pake kata MotoGP bakalan laris dibaca.
Pertengahan dekade 80an adalah untuk pertama kalinya saya menyaksikan pagelaran balap motor kelas primer yang saat ini bernama MotoGP. Waktu itu yang jadi jagoan saya adalah Wayne Rainey, pebalap dari sebuah tim pabrikan dengan sponsor sebuah merk rokok dari Amerika sana. Kenapa Rainey? Yaaaa.... namanya juga waktu itu masih jadi fanboy merk yang satu itu :) Setidaknya waktu itu dalam mindset saya motor yang satu itu adalah motor dengan tarikan dahsyat. Kebetulan di rumah juga bertengger sebuah motor bebek dari merk yang sama, yang biasa kami (saya dan kakak saya) muter - muter bermalem mingguan atau sekedar mengintip mobil goyang yang waktu itu cukup mudah dipergoki di sekitar tempat tinggal. Lhoo.... kok malah ngelantur
Sebagai yang namanya anak ingusan, yang namanya kecepatan adalah segalanya. Terutama kecepatan dalam menghabiskan makanan. Nah lhoo... ngelantur lagi kan. Eh tapi beneran lho, dulu kalo bisa ngebut pake sepeda mini rasanya gimanaaa gitu. Apalagi kalo bisa mengalahkan mereka yang menggunakan sepedanya lebih bagus. Padahal kalo dinalar, apa hebatnya kecepatan yang cuma 30 km/jam? Naik motorpun juga sama. Biarpun spedometer ndak pernah lewat dari angka 70 km/jam, tapi tetap saja menjadi suatu keasyikan tersendiri bagi kami (saya dan teman seper-ngebutan) yang memang sama sekali tidak memikirkan tentang resiko benjut akibat jatuh. Dalam khayalan, yang terbayang hanyalah mengidentikkan diri dengan para jawara balap motor yang piawai dalam melibas lawan di tikungan. Yah, kebetulan saya juga termasuk yang beruntung, karena riwayat kecelakaan yang saya alami ternyata lebih banyak saat menggunakan sepeda gayung bukan sepeda motor yang resikonya lebih fatal.
Di kemudian hari, barulah saya menyadari bahwa ternyata balap motor tidak hanya melulu mengandalkan kecepatan. Kerja sama yang solid dalam tim antara pebalab, menejer, dan tim mekanik sangatlah menentukan untuk meraih keberhasilan. Itu ngelmu pertama yang menginspirasi. Ngelmu kedua adalah mengenai mengenal lawan dan juga diri sendiri, dari sisi keunggulan maupun kelemahan. Mangkanya setiap pebalap punya strategi dan gaya tersendiri. Ada pebalap yang pilih ngacir sendirian di depan meninggalkan para rival karena kecepatan motor lebih kencang, ada yang pilih melibas lawan di tikungan karena suspensinya lebih mumpuni, atau ada pula yang rela bersabar menguntit lawan, perlahan mengintimidasi, dan akhirnya memanfaatkan kelemahan mental lawan untuk kemudian menjadi jawara.
Konsisten pada pilihan, itu ngelmu ketiga, setidaknya terlihat pada sang jagoan saya di masa lalu. Wayne Rainey mengalami kelumpuhan dari pinggang ke bawah akibat kecelakaan di sirkit Misano tahun 1993, tapi kelumpuhan tidak menghentikannya dari dunia balap. Sumber daya bukanlah yang utama, melainkan cara menggunakannya yang akan menentukan. Ngelmu keempat tadi diperlihatkan oleh Kenny Roberts Sr yang berhasil menggerogoti dominasi sebuah merk di arena dirt track menggunakan motor yang sama sekali tidak dapat diunggulkan secara teknis.
Pastinya, masih banyak hal lain yang bisa kita ambil dari arena kebut motor. Kira - kira demikian ceritanya. Yang mau lempar sendal karena kecewa setelah membaca tulisan ini harap melemparnya sepasang :D Sekian
Sumber : Wikipedia
artikel ini digenjot dengan semangat @koplakyoband
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H