Lihat ke Halaman Asli

Bis Kota - Sejuta Cerita Sejuta Derita Sejuta Kenangan

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1309511909810440859

[caption id="attachment_117448" align="aligncenter" width="139" caption="Rambu Perhentian Bis"][/caption] Moda transportasi yang satu ini memang nyaris tidak ada matinya. Konon sejak masa penjajahan, bis kota sudah beroperasi sebagai pelengkap dari trem yang jangkauannya relatif terbatas. Tak ketinggalan pasangan seniman Franky dan Jane menciptakan lagu tentang bis kota yang terinspirasi dari kondisi di kota Surabaya. Belakangan ini, bus kota swasta mulai digeser peranannya oleh bis kota dengan sistem operasional yang menjanjikan efisiensi waktu serta kenyamanan seperti Trans Jakarta, begitu juga dengan di daerah lain. Dalam rangka nostalgila transportasi umum, karena sekarang saya lebih sering menggunakan kendaraan pribadi, tak ada salahnya untuk sedikit berbagi cerita. Bus milik Djawatan Angkoetan Motor Repoeblik Indonesia atawa DAMRI adalah bis kota pertama yang saya kenal. Bis yang digunakan bermerk Mercedes Benz yang bentuknya kotak tanpa hidung, dengan didominasi warna putih dan strip memanjang berwarna biru. Berukuran cukup besar dan langit-langit yang cukup tinggi, lebih tinggi dibanding ukuran orang dewasa. Di bagian langit-langit terdapat 2 ventilasi yang selalu terbuka. Tempat duduknya cukup longgar, cukup bersahabat untuk dengkul orang dewasa. Antara penumpang dan supir dipisahkan oleh pagar dan kaca yang berisi himbauan untuk tidak mengajak sopir berbicara. Setiap penumpang, setelah membayar, akan mendapatkan selembar karcis dengan nomor seri tersendiri untuk setiap lembarnya. Bentuk karcisnya persegi panjang berukuran sekitar 3x8 senti dengan logo DAMRI. Begitu mempesonanya bentuk karcis tersebut, sehingga waktu kecil saya pernah bercita-cita menjadi kondektur bis kota. Biasanya saya menggunakan bis kota untuk perjalanan pulang dari sekolah bersama saudara-saudara kandung. Di siang bolong nan terik menunggu bis pujaan hati muncul di kejauhan, acungkan jari telunjuk ke depan dan bis pun akan berhenti tepat di depan. Tidak perlu berebut karena jaman itu masih belum ngerti rasanya capek berdiri, apalagi jarak sekitar 8 km bisa ditempuh dalam waktu yang cukup singkat. Selanjutnya muncul bis DAMRI berukuran sedang, dengan kapasitas angkut yang relatif kecil. Saya tidak pernah menggunakannya karena trayeknya berbeda. Sampai dengan tahun 2000an, model, bentuk, dan warna bis kota dari DAMRI relatif tidak banyak mengalami perubahan. Sangat konsisten :) Setelah berpindah ke Jakarta mengikuti orang tua, akhirnya saya berkenalan dengan bis berukuran sedang yang berjudul Metro Mini. Warnanya merah ndak jelas, sebuah tulisan "Metro Mini" berukuran cukup besar terdapat di sampingnya. Merk bis yang digunakan, seingat saya, selain Isuzu dan Mitsubishi ada yang Mercedes Benz, yang hidungnya agak menonjol ke depan. Kenyamanannya jauh berbeda dibandingkan dengan bis DAMRI yang sebelumnya sering saya gunakan. Setiap berangkat pagi hari pasti penumpangnya berjubel, apalagi daerah tempat tinggal saya termasuk derah Jakarta coret yang searah dengan salah satu lokasi hunian favorit. Tempat duduknya dari bahan fiber, agak melengkung untuk mengakomodasi bentuk tubuh, tapi tetap saja tidak terasa nyaman terutama bagi orang dewasa karena jarak antar tempat duduk tidak ramah untuk dengkul. Biasanya saya lebih suka berdiri di belakang supir, selain tempatnya lebih aman dari orang lewat, jendela di samping supir juga menawarkan kesejukan tersendiri. Di Jakarta pula saya mengenal yang namanya "karcis pelajar". Bentuknya agak kotak dengan tulisan tanggal dan bulan di dalamnya. Satu hari ada 2 buah untuk pergi dan pulang. Warnanya berbeda untuk setiap bulan. Pembeliannya dalam kelipatan bulanan, jadi ada 1 lembar berukuran besar yang setiap hari disobek sesuai tanggal. Harganya kalo ndak salah sekitar 60% dari tarif normal, yang hanya bisa diperoleh di loket khusus yang seingat saya ada di terminal Blok M. Sayangnya saat ini tiket khusus pelajar tidak ada lagi padahal dengan adanya potongan tersebut sangat membantu dalam menghemat pengeluaran rumah tangga. Selain Metro Mini, yang cukup banyak bersliweran di jalan waktu itu adalah bis kota dari Perusahaan Pengangkutan Djakarta alias PPD, Mayasari Bakti, dan dari Koperasi Angkutan Jakarta atau yang biasa disingkat dengan Kopaja. Bis Kopaja berukuran sedang, didominasi warna hijau dan putih demikian juga dengan Mayasari. Bedanya Mayasari menggunakan bis berukuran besar. Untuk bis PPD, warnanya biru dan berukuran besar. Tidak banyak yang teringat karena hampir tidak pernah menggunakannya, hanya sering melihatnya dari sela-sela pagar sekolah. Pastinya dari operator manapun, ciri-cirinya pasti miring ke kiri karena kelebihan penumpang. Yang seru dari menggunakan jasa bis kota adalah jika kita memberhentikan bis di tempat yang terdapat tanda larangan berhenti. Bis hanya akan berjalan perlahan dan kita harus berlari mengejar atau turun sambil meloncat. Berbahaya? Pastinya cukup berbahaya, apalagi kalau kita sampai terjatuh sewaktu meloncat. Tapi buat anak kecil yang masih belum mengerti apa-apa, semua itu begitu seru hehehehhe. Berbeda dengan kondisi sekarang yang rawan copet, sepanjang ingatan saya belum pernah sekalipun bertemu atau mendengar adanya copet. Lagipula apa yang bisa dicopet dari anak kecil? Bagaikan sebuah dunia mini, suasana bis kota nyaris identik dengan kehidupan. Sebut saja pedagang asongan yang menawarkan berbagai macam makanan, barang kebutuhan sehari-hari, sampai kartu perdana seluler, bagaikan sebuah toko serba ada. Pengemis dengan berbagai macam cara, dari mulai meminta baik-baik sampai dengan menakut-nakuti penumpang cukup mudah ditemukan. Pengamen solo ataupun berkelompok, yang sumbang ataupun yang pernah memenangkan kompetisi, siap menghibur. Orang baik-baik yang rela berdiri untuk memberikan tempat duduknya ke yang lebih membutuhkan ataupun copet yang tega mengambil barang milik orang lain bahkan melakukan kekerasan fisik, ada. Mereka yang berwajah muram bagaikan sudah jatuh tertimpa tangga pula (kebayang ndak sakitnya?), yang berwajah ceria bak mendapat durian runtuh mungkin saja menjadi teman seperjalanan kita. Ada banyak cerita kehidupan yang tidak pernah habis dan selalu berganti setiap hari. Saat ini beberapa pemerintah daerah memberikan perhatian kepada sistem operasional bus yang mempunyai jalur khusus. Sebut saja Trans Jakarta sebagai pelopornya, kemudian trans Jogja, dan trans Semarang. Dengan tarif yang berbeda pastinya kenyamanan yang ditawarkan jelas berbeda. Tapi rasanya ada sesuatu yang hilang...... Jakarta 2011-07-01

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline