Lihat ke Halaman Asli

Haji

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Aku pernah bekerja sebagai babu di rumah seorang lelaki tua yang kaya. Dia punya toko kelontong yang cukup besar, mungkin terbesar di kampung itu. Kadang-kadang aku disuruh menjaga toko itu selepas tengah hari, ketika pekerjaan di rumah sudah selesai. Sebagai majikan, lelaki tua itu berlaku baik, bahkan sangat baik terhadap semua pembantunya. Gaji kami dibayarnya sesuai UMR, dan selalu tepat waktu. Kadang-kadang kami juga diberi bonus jika bulan itu ia sedang lapang hatinya. Tidak ada perlakuan khusus kepada semuanya. Babu yang cantik atau yang jelek disapanya dengan ekspresi wajah yang sama.

Sebagai orang beragama, kupikir dia juga cukup baik: Rajin sembahyang berjamaah di masjid, berzakat setiap tahun, dan juga bersedekah jika punya kelebihan harta.

Tapi, jika kami para pembantunya menilai lelaki itu sebagai orang baik-baik, tidak demikian dengan masyarakat sekitar. Di belakangnya, kami kerap mendengar orang-orang menggunjingkan apapun tentangnya yang menurut mereka jelek. Dikatakan bahwa ia orang yang kikir, jarang tersenyum, tidak ramah danbelum sempurna agamanya.

“Orang kayak dia itu, lihat saja, sebentar lagi juga bangkrut.”

“Kok bisa begitu, Ji!”

“Ya iyalah, dia diberi harta segitu banyaknya. Eh, haji sekali saja belum.”

“Padahal, Kaji Dolah saja sudah berangkat lima kali. Aku saja yang melarat begini sudah haji.”

“Kenapa ya, Ji ada orang seperti itu?”

“Apa lagi, kalau bukan takut hartanya habis!”

Majikan kami bukannya tidak tahu, bagaimana sikap orang-orang, dan apa saja yang mereka gunjingkan di belakangnya. Tapi ia memilih diam, dan pura-pura tidak tahu. Suatu hari ia pernah didatangi dua orang ustadz muda. Mulanya ia menerima mereka dengan baik, layaknya tamu yang harus dihormati.

“Haji itu rukun islam yang kelima lho, Pak. Sebagai muslim anda masih belum sempurna jika tidak menunaikannya.”

“Iya, betul! Mumpung Allah memberi Anda kelapangan rejeki, Pak.”

Majikan kami hanya manggut-manggut.

Ustadz muda itu menyodorkan formulir. “Ini agen perjalanan kami. Di sini, Anda akan mendapatkan fasilitas kelas satu, juga pembibingan yang professional dari ustadz terkenal.”

“Itu lho, Pak. Yang sering ngisi pengajian di tipi. Masa anda tidak kenal.”

Dilihatnya baik-baik lembaran kertas tebal dan warna-warni itu. lama sekali majikan kami hanya tepekur. Entah apa yang dipikirkannya.

“Jadi bagaimana, Pak?”

“Maaf, Dek. Mungkin tahun ini belum dulu.”

“Lalu kapan lagi, Pak. Harta anda yang segini banyaknya tidak akan selamanya anda miliki.”

“Kami wajib mengingatkan, dengan harta anda yang segini banyaknya haji menjadi kewajiban bagi Bapak.”

“Jika tahun ini tidak berangkat, dan tahun depan tiba-tiba bangkrut, anda tetap dituntut untuk berangkat. Biarpun itu dengan jalan ngemis seumur hidup. Bapak mau seperti itu?”

Percakapan mereka menjadi panas, ketika ustadz-ustadz muda itu mulai menyitir dalil-dalil, dan menasehatinya agar segera berangkat haji tahun ini juga.

Majikan kami marah besar “Biarpun harus ngemis, aku tidak akan minta pada kalian!” Bentaknya. Lalu mengusir mereka, seperti menendang kucing yang ketahuan mencuri bandeng di dapur.

Kadang aku juga bertanya-tanya, tapi tentu saja takut mengutarakannya, mengapa sampai setua itu majikan kami belum juga berangkat haji. Padahal jika mau ia bisa memberangkatkan lima orang ke tanah suci, dan tetap bisa hidup makmur saat pulang. Pertanyaan itu akhirnya terjawab, ketika pada suatu malam seorang teman lama majikan kami mengunjunginya.

Mereka terlihat begitu akrab. Ngobrol apa saja, tentang kejadian-kejadian di masa lalu dan masa kini. Juga kemungkinan-kemungkinan di masa depan. Dan, kadangkala mereka tertawa lepas jika percakapa mereka sampai pada hal-hal yang lucu.

Aku sempat mendengar obrolan mereka sekilas.

“Kau pasti sudah lupa, apa yang pernah kau katakana dulu.”

“Tentu saja tidak. Sampai kapanpun tidak.”

“Jadi mengapa belum kau lakukan?”

“Entahlah, aku takut.”

“Takut?”

“Kau tahu, sejak muda sekali aku telah menentukan tujuan hidupku.”

“ya, dulu kau bilang akan pergi ke tanah suci pada suatu hari nanti”

“Memang benar. Dan sampai sekarang pun keinginan itu masih ada, dan dalam kadar yang sama seperti dulu.”

“Kau punya segala-galanya sekarang. Harta, kesehatan, bekal, kesempatan. Apa lagi yang kau tunggu?”

Majikan kami menghela napas. ”Kau jugatahu, mengapa aku mengumpulkan semua itu? Toko ini kubangun dari recehan dan sampai sekarang sudah beromzet milyaran, tidak lain Karena aku ingin pergi haji. Keinginan itu pula yang membuatku mampu bangun setiap pagi, dan memberiku semangat untuk menjalani kehidupan yang bangsat ini.”

Aku takut, jika sudah kutunaikan yang satu itu, aku akan kehilangan tujuan hidupku. Kehilangan semangat dan satu-satunya motivasiku. Dan kau tahu, orang yang hidup tanpa tujuan tak ada bedanya dengan mayat yang berjalan. Aku tidak mungkin bisa hidup seperti itu.”

Dan tamu itu sepertinya bisa mengerti. Untuk waktu yang cukup lama mereka hanya saling diam. Lalu kembali ngobrol dan terdengar tawa-tawa yang lebih keras lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline