Jauh sebelum Ampenan sohor sebagai pelabuhan besar di Tanjung Karang pernah menjadi bandar utama yang disinggahi kapal-kapal dunia. Namun perang saudara yang meletus tahun 1838-1839 mengakhiri riwayat pelabuhan ini. Ia limbung dan tak pernah bangkit lagi hingga kini.
----------------------------------------------
Matahari lebih sepenggalah saat kami tiba di Pantai Tanjung Karang, Kamis 2 April 2021 kemarin. Perahu nelayan dan hamparan pasir hitam menyambut saya dan empat anggota Lombok Heritage Science and Society (LHSS) lainnya. Agung, Zainal, Ali dan Widya.
Seharusnya kami berenam, namun satu kawan berhalangan. Tumpukan dokumen dan sebuah peta tua menuntun kami datang kemari. Mengenang kembali sejarah yang hilang di Tanjung Karang.
Tapi hampir tak ada yang tersisa lagi. Padahal 270 tahun lalu Tanjung Karang adalah bandar ramai yang dikunjungi kapal-kapal besar dari penjuru bumi.
Bahkan dari muara sungainya rakit dan sampan hilir mudik memunggah barang hingga ke jantung Mataram. Berabad lamanya, Tanjung Karang menjadi gerbang timbul dan tenggelamnya peradaban.
Tanjung Karang kini terkesan kumuh dengan tumpukan sampah di pesisirnya. Lesu dan tak terawat. Siang itu pengunjung tidak lebih dari tujuh orang. Dua warung kopi, sepi pembeli. Seperti tempat ini, pedagangnya terlihat letih dan menahan kantuk dengan wajah terlipat.
Agustus 1741, nama Tanjung Karang tertulis jelas dalam lembaran surat dari I Gusti Wayan Tegah kepada Hendrik Smout, pimpinan maskapai dagang Hindia Timur alias Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Makassar. Byvanck mengulas surat ini dalam Onze Betrekkingen tot Lombok yang terangkum dalam De Gids volume IV tahun 1894 .
Byvanck menyebut, melalui surat ini Wayan Tegah ingin menjalin kerjasama perdagangan dengan Belanda. Sayang surat tersebut belum mampu menarik minat VOC untuk datang.
Mengenai siapa sebenarnya Wayan Tegah, sejumlah sumber menyebut dia bangsawan Karangasem tulen. Namun JF Stutterheim meyakini dia memiliki darah Sasak dari sang ayah. Boleh jadi inilah yang membuat bisa diterima sebagai raja di tanah Mataram.
Di awal abad ke 18, ia muncul sebagai penguasa di bagian barat Lombok. Bahkan dalam surat-suratnya ia menyebut diri sebagai Koning Selaparang alias penguasa utuh tanah Selaparang dan seluruh taklukannya.
Sebenarnya Maret 1742, ia kembali mengirimkan surat serupa ke Makassar. Namun ia tak mendapatkan jawaban memuaskan dari Belanda. Tegah mulai mengalihkan perhatianya kepada para pedagang Inggris.