Sabtu, 1 Oktober 2022 terjadi peristiwa yang memprihatinkan bagi dunia sepak bola Indonesia, pasalnya 127 orang dikonfirmasi meninggal dunia dalam konflik kericuhan yang berlangsung antara suporter Arema FC dengan polisi yang mengawal jalannya pertandingan. Peristiwa naas tersebut adalah buntut dari kekalahan Arema FC di kandang sendiri tepatnya di stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur. Aremania, sebutan dari suporter Arema FC meluapkan kekecewaannya dengan turun ke lapangan untuk mencari pemain dan oficial, petugas keamanan pun berupaya melakukan pencegahan namun diperparah dengan lemparan benda-benda ke lapangan.
Guna meredakan kemarahan suporter yang semakin banyak merangsek masuk lapangan polisi melepaskan tembakan gas air mata ke arah mereka, terbukti merekapun berlarian menghindar sehingga menyebabkan keadaan makin tidak terkendali, kericuhan pun terjadi, banyak korban yang sesak napas akibat asap dari gas air mata, tidak sedikit juga yang terinjak-injak oleh penonton lain yang berusaha menyelamatkan diri keluar stadion.
Dari fenomena ini tentu hal yang terlintas di benak kita adalah hal yang bersifat negatif, nyawa melayang, sepak bola Indonesia tercoreng, rusaknya fasilitas umum dan masih banyak dampak buruk lain, namun jika dilihat berdasarkan perspektif sosiologi menggunakan teori konflik Lewis A. Cosser dimana konflik yang terjadi selalu mempunyai sisi positif, meskipun dalam kasus ini sangat menyedihkan bila kita menyebut konflik realistik yang berawal dari kekecewaan Aremania terhadap performa tim yang mereka dukung disebut memiliki dampak positif.
Akan tetapi dengan terjadinya konflik ini masyarakat kita khususnya pecinta sepak bola akan belajar untuk menerima kekalahan tim mereka secara lapang dada, tidak anarkis, dan menghormati antar satu sama lain. Selain itu petugas keamanan juga akan di evaluasi sehingga kedepannya mereka lebih bijak dalam menghadapi kericuhan, larangan penggunaan tembakan gas air mata yang dinilai tidak meredakan kericuhan serta jam kick off pertandingan dimulai pun akan ikut di evaluasi karena semakin larut pertandingan dimulai maka peluang hal-hal yang tidak diinginkan pun semakin besar.
Saya mengenal teori konflik Lewis A. Coser dari buku yang berjudul "Teori, Metode dan Strategi Pengelolaan Konflik Lahan" oleh Susi Fitria Dewi yang terbit pada tahun 2019. Buku ini basisnya membahas mengenai konflik lahan, namun penulis juga menyertakan beberapa teori konflik dari beberapa sosiolog termasuk Lewis A. Coser, konflik dalam pandangan Cosser tidak harus bersifat merusak atau disfungsional untuk sistem dimana konflik itu terjadi, melainkan bahwa konflik itu dapat mempunyai konsekuensi konsekuensi positif atau menguntungkan. Bagaimanapun konflik baik yang bersifat antara kelompok maupun intra kelompok, selalu ada di tempat orang hidup bersama.
Cosser membagi teori konfliknya menjadi dua yaitu konflik realistik dan non-realistik, konflik realistik berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan yang ditujukan pada objek yang dianggap mengecewakan. Sedangkan konflik non-realistik adalah konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan saingan yang antagonistis tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak.
Dalam pemahaman saya teori Lewis A. Coser berangkat dari pemikirannya mengenai konflik, Coser menganggap bahwa konflik mempunyai "fungsionalitas" positif dalam masyarakat, konflik memberi sumbangan pada ketahanan dan adaptasi dari kelompok, interaksi dan sistem sosial. Berbeda dengan teori struktural fungsional sebelumnya yang memandang konflik dari sudut "disfungsional" dan menganggap bahwa konflik selalu memberikan dampak buruk serta merusak perdamaian dalam masyarakat. Coser menekankan bahwa selalu ada sisi positif dari suatu konflik yang terjadi di masyarakat dan akan meningkatkan integrasi sosial didalamnya.
Lewis A. Coser adalah sosiolog German-America, lahir pada 27 November 1913 di Berlin, Jerman. Dalam perjalanan hidupnya, Coser melarikan diri ke Paris ketika Jerman dikuasai Hitler. Ia aktif mengikuti gerakan sosialis dan bergabung dengan kelompok radikal untuk mempertahankan eksistensi dirinya. Coser menerima posisi sebagai tenaga pengajar ilmu sosial di Chicago University setelah menyelesaikan studinya sebagai mahasiswa pascasarjana di Colombia University. Pada tahun 1954 ia menerima gelar doktor dan sedari awal telah diminta oleh Brandeis University di Waltham, Massachusetts pada tahun 1951 sebagai seorang dosen dan professor sosiologi.
Kritik atas teori Lewis A. Coser yaitu pemikirannya yang dipandang kurang obyektif karena analisa konfliknya cenderung melihat konflik lebih pada proses yang berlangsung di tataran kelompok, individu menjadi tenggelam dan tidak nampak sebagai aktor karena kelompok dilihat sebagai penambahan individu. Meski mengambil sikap positif dalam memandang konflik, namun konstruksinya menjadi kurang realistik untuk diterapkan menghadapi realitas yang bisa berubah kapan saja.
Referensi :
CNN Indonesia. 2022. "Kronologi Kerusuhan Usai Arema vs Persebaya yang Tewaskan 127 Orang". https://www.cnnindonesia.com/olahraga/20221002054749-142-855190/kronologi-kerusuhan-usai-arema-vs-persebaya-yang-tewaskan-127-orang, diakses pada 2 Oktober 2022 pukul 17.46.