(Pengaturan Pergub Arak Bali Merupakan Kebijakan Genius Gubernur Bali)
Gubernur Bali Wayan Koster telah menetapkan peringatan "Hari Arak Bali" Yang akan diperingati setiap tanggal 29 Januari (ditetapkan dengan Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 929/03-I/HK/2022). Penetapan Hari Arak Bali ini menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Masyarakat yang kontra melihat kebijakan ini adalah kebijakan yang tak terlalu penting untuk diatur. Selain itu perayaan memperingati hari arak Bali cenderung lebih memberikan kesan negatif dari pada kesan positifnya. Arak (atau dalam tulisan ini arak Bali) selalu identik dengan minuman beralkohol yang tentunya memberikan dampak negatif bagi kesehatan. Selain kesehatan, terkadang minuman beralkohol juga berujung pada kondisi keamanan, ketertiban dan tingkat kriminalitas di masyarakat.
Peringatan hari Arak Bali ini jika dilihat ke belakang tentu tak terlepas dari pengaturan Peraturan Gubernur Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Tata Kelola Minuman. Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali. Dalam pengaturan ini diatur mengenai tentang pengelolaan produksi, standarisasi produk, pemasaran/distribusi dan pengelolaan terpadu terhadap minuman. fermentasi dan/atau destilasi khas Bali. Dengan adanya aturan ini diharapkan kedepannya produk minuman ini bisa menjadi komoditi penunjang pengembangan Konsep kepariwisataan budaya Bali yang selama ini diusung oleh Pemerintah Provinsi Bali.
Secara umum sebenarnya langkah kebijakan Gubernur Bali ini tidak masalah jika ditinjau dari sisi kewenangan. Pada era desentralisasi (baca otonomi daerah) saat jni, bukan hal yang aneh jika pada akhirnya ada kebijakan seperti ini yang dikeluarkan oleh Gubernur Bali. Bali bukan daerah pertama yang mengatur tentang minuman beralkohol khas daerah, sebelumnya pada Tahun 2019 pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur mengeluarkan kebijakan pengaturan Minuman Beralkohol khas daerah dengan ditetapkannya Peraturan Gubernur NTT Nomor 44 Tahun 2019 tentang Pemurnian dan Tata Kelola Minuman Tradisional Beralkohol Khas NTT. Selain NTT ada beberapa daerah lain yang mengatur tentang pengelolaan dan pengawasan terhadap minuman beralkohol di wilayahnya. Daerah tersebut antara lain Provinsi Kalimantan Barat, Maluku, Gorontalo dan beberapa lagi di tingkat Kabupaten/Kota.
Pengaturan ini memang berpotensi untuk mendapat tanggapan pro kontra di masyarakat. Sebagai daerah tujuan wisata yang notabene melekat dengan hingar bingar usaha penunjang pariwisata seperti diskotik, bar, pun, hotel dan restaurant tentunya bukan hal yang asing untuk menyediakan minuman yang mengandung alkohol. Secara kebijakan publik dengan diaturnya pengelolaan minuman beralkohol ini tentunya akan membawa perubahan yang akan didorong menuju keteraturan di masyarakat. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Thomas Dye (ahli kebijakan publik). Thomas Dye mendeskripsikan bahwa kebijakan publik sebagai segala sesuatu yang dipilih oleh pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Dengan kata lain kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah yang berorientasi pada tujuan tertentu guna memecahkan masalah-masalah publik atau demi kepentingan publik.
Selama ini Arak Bali (sebelum terbit Perda Arak Bali) biasanya merupakan komoditi yang menjadi sasaran empuk aparat penegak hukum. Padahal eksistensi Arak Bali sudah merupakan warisan turun menurun dari leluhur masyarakat Bali. Tradisi sosio religius masyarakat Bali selalu menggunakan Arak Bali sebagai salah satu sarana upakara (Upacara Agama Hindu). Beberapa prosesi adat juga tak lepas dari kehadiran Arak Bali sebagai salah satu elemen penting yang tak dapat di pisahkan. Seperti tradisi Megibung/mekibung (makan bersama setelah ritual adat), pelengkap acara Ngidih Anten (meminang dalam tahapan perkawinan adat bali), paruman adat (musyawarah adat) dan banyak lagi kegiatan masyarakat yang tak lepas dari keberadaan Arak Bali.
Mengkonsumsi Arak Bali sebenarnya juga baik untuk tubuh jika dinikmati dengan porsi yang tak berlebih. Bahkan beberapa orang tua di Bali rutin menjaga kondisi tubuh untuk tetap hangat dengan rutin mengkonsumsi arak Bali. Selain itu arak Bali oleh penekun pengobatan tradisional Bali dijadikan salah satu bahan baku untuk membuat "boreh" (Sejenis lulur tradisional yang bermanfaat untuk menghangatkan tubuh).
Dalam perspektif Industti Pariwisata, Arak Bali sendiri sebenarnya memiliki potensi yang besar untuk dapat dipasarkan secara global. Sebagai sebuah Miras Khas (Tradisional) dari Bali, Arak Bali memiliki cita rasa yang unik, dapat disandingkan dengan minuman beralkohol khas dari negara lain. Di Jepang kita mengenal Sake, di Korea ada soju, Kvass dari Russia, sedang Skotlandia dengan Whisky-nya, dan banyak lagi jenis minuman beralkohol dari negara lainnya.
Arak Bali jika dikelola dengan baik mulai dari proses produksi, kadar alkohol, standarisasi rasa, pengemasan (packaging), pemasaran, distribusi dan pemasarannya (marketing), tentunya juga memiliki potensi yang besar dan menguntungkan jika dilihat sebagai salah satu sumber pendapatan resmi pemerintah Bali nantinya. Jika dilihat dari teori sistem hukum dari Lawrence M. Friedman, beliau menyatakan bahwa sistem hukum terdiri atas tiga komponen, yaitu struktur (legal structur), substansi (legal substancy), dan Budaya (legal cultur). Dalam hal ini Substansinya adalah adanya pengaturan Pergub tentang Arak Bali. Dalam unsur substansi, Pergub Arak Bali ini mengatur Arak Bali dari proses produksi hingga pemasarannya, bahkan Pemprov Bali juga menyediakan benteng bagi perajin Arak Bali untuk mendapatkan ijin produksi.