Rayap dan Babi
Oleh: Gede Sandra
Menggemuk para rayap dalam bumi yang kian rapuh//Resahnya ibu rakyat terbantai tanpa aduh//Merayap para babi di lautan, sawah, dan hutan//Menggencet anak rakyat, meremas jantung mereka
Teks di atas adalah potongan lagu “Rayap-Rayap” ciptaan Mogi Darusman dan Teguh Esha, menggambarkan bahwa kelakuan serangga “rayap” –yang merupakan metafora dari aparat korup karena memakan “tiang negara”. Meminjam konsep 4 Pilar Kebangsaan rancangan almarhum Taufik Kiemas, yang Pancasila adalah juga tiang/pilar negara, maka para rayap ini sebenarnya memakan Pancasila, terutama Sila Kelima. Sila tentang “Keadilan Sosial” ini selain merupakan harapan rakyat untuk terbebas dari kemiskinan, juga harapan agar Negara terbebas dari korupsi. Agar terbebas dari kemiskinan, maka model perekonomian harus didesain sedemikian agar ketimpangan pendapatan antara rakyat semakin membaik. Sedangkan agar terbebas dari korupsi, maka aparatnya harus tegakkan peraturan, tidak menerima suap, dan adil dalam memutuskan; sedangkan pengusahanya harus patuhi peraturan, tidak memberi suap, dan adil sejak dalam pikiran.
Jadi aparat yang semakin gemuk, sementara negara/bumi nya dijarah oleh para “babi” –yang merupakan metafora dari pengusaha rakus- akan mengakibatkan ibu terbantai dan anak rakyat tergencet. Atau dengan kata lain, saat misalnya didapati oknum-oknum kepolisian yang rekening pribadinya semakin gemuk atau gendut –apapun jabatannya dan di manapun penempatannya- dapat diindikasikan bahwa ia telah berkongkalikong dengan pengusaha yang rakus, yang tidak hanya mengakibatkan kekayaan alam milik rakyat terkuras habis, namun juga menggusur dan menyisakan rakyat dalam kemiskinan. Memang tidak semua aparat kepolisian adalah “rayap”, dan tidak semua pengusaha adalah “babi”, namun tugas kita adalah membasmi “rayap” dan menjinakkan “babi” agar tidak rakus. Pembasmi “rayap” yang paling efektif di saat ini adalah KPK- kita seharusnya bersepakat soal itu. Media massa sendirian saja tidak akan pernah efektif selama berada di bawah kendali oligarki ekonomi-politik para “babi”.
Pada masa lalu terdapat seorang polisi yang jujur bernama Hoegeng, terkenal sebagai aparat yang paling anti menerima suap dari pengusaha. Jenderal polisi ini sangat disayangi Sukarno –hingga dijadikan menteri pada 1966- dan disegani Suharto –hingga dijadikan Kapolri. Sampai-sampai, saking melegendanya, Gus Dur kerap berseloroh bahwa hanya ada tiga polisi yang jujur: Pertama. Patung Polisi; Kedua. Polisi Tidur; dan Tiga. Jenderal Hoegeng. Hal ini karena saking sulitnya kita mendapati polisi yang jujur di sekitar kita. Rakyat mungkin tidak pernah melihat atau mendengar kabar (karena kurangnya informasi dan tingkat kecanggihan yang tinggi) tentang korupsi petinggi Polisi, tetapi hampir setiap hari tentu mereka melihat dengan mata kepala bagaimana para pengendara kerap menjadi korban pemerasan di saat melanggar lalu lintas ataupun menjadi korban penjebakan narkoba (yang kadang menjadi objek pemerasan juga). Jangan sampai nanti kebencian rakyat –terhadap sifat “rayap”- sedemikian memuncak hingga tingkat yang membahayakan jika Polisi atasan (perwira tinggi) tidak segera berubah. Seharusnya mereka bekerjasama dengan KPK, bukan malah berseteru.
Wajar bila kemudian rakyat menjadi berlogika, bahwa bawahan pasti mengikuti contoh atasannya. Tidak mungkin atasan mencontoh bawahan. Jika polisi bawahan saja hobi memeras, bagaimana atasannya? Pasti “rajin” terima suap. Jika seorang polisi bawahan semacam Labora Sitorus saja dapat sedemikian berkuasanya jika bergaul dengan pengusaha suskes, maka bagaimana dengan polisi atasannya –seorang jenderal polisi- semacam Budi Gunawan (BG) yang pastilah dekat dengan banyak taipan dan politisi? Bukan tidak mungkin di daerah-daerah selain Papua terdapat Labora-Labora yang lain dan di Mabes Polri atau Polda-Polda terdapat BG-BG yang lain. Menjadi relevan kemudian bila KPK diperluas strukturnya di derah, hingga terbangun di 33 provinsi seluruh Indonesia, bahkan kalau perlu memiliki cabang di luar negeri (seperti di Singapura yang kabarnya menjadi parkiran dana haram asal Indonesia dan juga lokasi di mana para “babi” dan “rayap” ber-kongkouw).
Santer diisukan bahwa BG adalah dalang yang menghalangi naiknya Abraham Samad menjadi calon wakil presiden Jokowi tahun lalu. Memangnya apa yang dapat dilakukan BG, yang merupakan ajudan mantan Presiden Megawati Sukarnoputeri (Mega), untuk mengintervensi proses politik ini? Sepertinya tidak perlu dijawab, apalagi desas-desus tentang kedekatan keduanya bukan isapan jempol. Tentu BG yang masih merupakan perwira tinggi aktif saat Pilpres 2014 memiliki pilihan cawapres sendiri selain Samad. Tugas Utama BG adalah meyakinkan Mega menerima pilihannya. Maka jika logikanya BG dihadiahi jabatan Kapolri setelah Jokowi dan Jusuf Kalla (JK) menjadi presiden dan wakil presiden, dapat diindikasikan bahwa nama cawapres yang diperjuangkan BG agar disetujui oleh Mega dan Jokowi adalah JK -taipan yang juga mantan wakil presiden era Pemerintahan SBY yang pertama (2004-2009).
Mungkin faktor inilah yang membuat JK terlihat lebih banyak menarik diri dari kisruh KPK-Polri belakangan, yaitu BG adalah promotor dari pengusaha asal Bugis yang pernah masuk daftar 40 Orang Terkaya Indonesia versi Majalah Forbes ini saat menjadi wakil SBY. JK adalah tipe ideal dari metafora “babi” dalam karya lagu Rayap-Rayap, pengusaha besar yang ingin selalu (rakus) menggendutkan bisnisnya dengan melahap proyek-proyek pemerintah dan peringanan utangnya dari perbankan, yang hanya dapat dilakukannya bila dirinya menjadi bagian dari pemerintahan di era SBY. Rakusnya JK melahap proyek menjadi keluhan tersendiri lingkaran terdekat SBY, yang menjadi alasan pisahnya pasangan ini pada 2009. Setelah kalah telak dari SBY di 2009, JK ingin kembali masuk di 2014 dengan cara apapun- termasuk menurunkan kembali grade-nya dari capres di 2009 menjadi cawapres di 2014.
Sementara Samad yang bagi kebanyakan orang karirnya sudah habis, akibat “dikerjai” ramai-ramai oleh polisi, pengacara, aktivis, dan sahabat-sahabat dekatnya semasa aktivis, masih merupakan Ketua KPK yang paling cemerlang prestasinya sepanjang sejarah berdirinya KPK setelah berhasil menjerat beberapa menteri dan ketua umum partai berkuasa di era SBY. Karena prestasi dalam pemberantasan korupsi inilah wajar bila PDI Perjuangan ingin gunakan Samad untuk mendongkrak elektabilitasnya pada Pemilu 2014. Terjadilah kemudian pendekatan antara kedua pihak, Samad dan PDI Perjuangan. Pada titik ini dapat dipastikan bahwa terbukanya komunikasi para petugas partai (semacam Hasto Kristiyanto dan Tjahyo Kumolo) atas dasar restu Mega.
Sebenarnya berdasarkan UUD 1945 tentang syarat wakil presiden, apa yang dilakukan Samad dan Mega tidaklah bertentangan dengan Konstitusi. Samad sebagai warga negara Indonesia berhak untuk menjadi calon wakil presiden, dan Mega sebagai ketua umum parpol juga berhak untuk membuka komunikasi warga negara siapapun yang ingin menggunakan parpolnya sebagai sarana menjadi calon wakil presiden. Pernyataan plt. Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristianto di sebuah stasiun televisi swasta, yang menyebutkan bahwa salah satu alasan Samad ingin menjadi wapres adaalah karena dengan posisi eksekutif yang setinggi wapres akan lebih mudah baginya untuk melakukan pemberantasan korupsi. Lalu apa yang salah dengan pernyataan ini? Apakah rakyat tidak boleh berharap terbebasnya Indonesia dari korupsi, saat Ketua KPK yang paling berprestasi menjadi wakil presiden mereka?