Sudah tiga hari ini saya mengantarkan dan menjemput anak-anak saya yang bersekolah di sekolah dasar (SD) publik yang disebut dengan Openbare Basisschool (OBS). Pilihan saya menyelokahkan anak di sekolah ini karena beberapa alasan. Pertama adalah kedekatan dengan rumah dan tempat kerja sehingga saya bisa melakukan rutinitas tersebut dengan sekali perjalanan. Dengan menggunakan sepeda, saya bersama anak mencapai dan pulang sekolah dengan moda transportasi yang murah, aman, dan praktis untuk digunakan di negeri ini.
Alasan berikutnya adalah sekolah ini menyediakan kelas transisi internasional (schakelkas) yang memungkinkan anak-anak belajar berbahasa Belanda sebagai bahasa kedua sebelum sepenuhnya mengikuti kelas dengan instruksi bahasa tersebut. Di OBS, anak-anak diwajibkan untuk berbahasa Belanda. Meskipun lingkungan sosial di kota dan di sekolah tersebut tergolong 'internasional', bahasa Inggris maupun bahasa lainnya dilarang digunakan di sekolah untuk sekedar bercakap-cakap antara anak dari kewarganegaraan yang berbeda.
Terakhir, untuk menjangkau sekolah internasional di kota terdekat, dalam perhitungan ekonomis kami sangat mahal dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk pengantaran dan penjemputan. Istilahnya, OBS menyediakan pendidikan yang gratis dalam pengertian sesungguhnya. Orang tua tidak ditarik uang untuk buku, fasilitas, maupun aktivitas sekolah, kecuali kontribusi sebesar kurang dari Rp800 ribu/tahun untuk acara hari perpisahan, paskah, ekskursi, hadiah perayaan hari Ibu dan Ayah, dan minggu buku anak-anak.
Saya mengamati anak-anak dengan cepat beradaptasi dengan lingkungan sekolah yang baru. Para guru telah memberitahukan dari awal proses adaptasi yang musti dilakukan. Anak ditempatkan dalam kelompok kelas yang diukur tidak hanya dari usia dan kemampuan intelektual, melainkan juga dari kematangan emosional dan kecepatan beradaptasi. Para guru mengamati perkembangan anak dengan seksama sejak awal sehingga dapat menempatkan dalam kelompok yang tepat.
Saya mengirimkan surat pernyataan guru dari sekolah di Indonesia melalui surat elektronik (surel) mengenai tingkatan kelas dan perkembangan anak di sekolah sebelumnya. Namun, para guru OBS ini memiliki kewenangan penuh untuk menempatkan anak pada kelompok yang tepat. Pada hari pertama, orang tua memiliki sedikit ruang intervensi untuk membuat anak nyaman dengan memberikan perhatian yang berlebihan. Anak pada kelompok satu atau kurang lebih kelas satu SD di Indonesia hanya boleh diawasi 15 menit dari saat dimulainya pelajaran.
Anak berada di sekolah selama sehari penuh selama seminggu dari pukul 08.30 s.d. 15.30, kecuali pada hari Rabu dan Jumat yang hanya sampai 12.30. Jam sekolah ini berlaku untuk semua siswa tanpa membedakan kelompoknya. Saya dan istri bergantian menjemput pada siang hari karena anak-anak hanya diperbolehkan berada di sekolah apabila dititipkan pada organisasi yang mengurus keperluan makan siang mereka.
Beberapa keluarga menyempatkan makan bersama dengan anak-anak di taman yang tidak jauh dari sekolah. Hal ini memang menjadi merepotkan bagi kami yang terbiasa membiarkan anak berada di sekolah pada jam makan siang. Kami pun diminta untuk menjemput anak tepat waktu yang apabila tidak dilakukan adalah bentuk penelantaran kepada anak.
Selama dua hari ini saya telah menanyakan pekerjaan rumah yang mereka bawa. Namun tidak satu pun PR yang mereka bawa pulang. Anak-anak pun tidak membawa buku pelajaran wajib maupun buku tulis tugas karena seluruhnya sudah disediakan sekolah. Anak-anak kami yang terbiasa dengan esktrakurikuler yang padat dan kursus seusai sekolah merasa punya waktu lebih untuk bermain yang tidak seperti biasanya dialami ketika di Indonesia. Ini juga menjadi tanggung jawab kami untuk menjaga anak-anak berada di rumah dan lingkungan tempat tinggal dengan aktivitas yang positif dan tetap dalam pengawasan orang tua.
Salah satu informasi yang saya terima, anak-anak tidak diperbolehkan mengambil libur ekstra tanpa keterangan yang dapat diterima. Libur sangat dilarang terutama pada dua minggu pertama tahun ajaran baru dimulai maupun pada hari terakhir menjelang libur musim dingin (winter) dan panas (summer). Izin sekolah karena kunjungan ke rumah anggota keluarga lain pun tidak diperbolehkan, kecuali untuk acara perkawinan, pemakaman, maupun keagamaan. Apabila ketentuan ini dilanggar, pihak pemerintah kota akan menghubungi pihak orang tua dan mengenakan denda harian yang cukup besar. Dengan demikian, menyekolahkan anak adalah sebuah komitmen sungguh-sungguh baik bagi anak, guru, dan orang tua, serta pemerintah.
Saya membayangkan bahwa menyekolahkan anak-anak di Belanda adalah sama seperti di Indonesia yang barangkali mewarisi watak kolonial yang kaku, keras, dan kurikulum yang padat dengan mata pelajaran. Setidaknya hal tersebut yang saya alami ketika bersekolah dahulu. Mungkin pula bahwa Indonesia tidak meneruskan sistem yang ada pada zaman tersebut.
Saya tidak tahu apakah mereka yang merubah sistemnya ataukah negara kita yang sudah semestinya berubah. Namun demikian, saya juga tidak dapat menilai apakah sistem di Belanda lebih baik daripada di Indonesia. Saya dapat mengamati anak-anak saya sudah percaya diri dalam memecahkan persoalan matematika dalam kelompoknya karena terlebih dahulu diajarkan oleh kursus maupun sekolah mereka di Indonesia.