Lihat ke Halaman Asli

Subak, Pancasila, dan Pembangunan "Zaman Now"

Diperbarui: 5 Januari 2018   14:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: balipocket.net

Sejak Teks Proklamasi dibacakan hingga hari ini, "Pembangunan" jadi sebuah kata magis. Silih berganti pemimpin-pemimpin yang adiluhung, "Pembangunan" menjadi titik dimana cita dan janji bertemu. Namun, apakah selama ini "Pembangunan" sudah dimaknai dengan bijak?

Pembangunan fisik, pembangunan ekonomi, pembangunan karakter, dan pembangunan-pembangunan lainnya terpisah-pisah seakan ada tembok-tembok yang jelas diantara ragam frasa "Pembangunan" itu. Semua dibeda-bedakan namun kaca mata yang digunakan untuk memandang malah monoton dan seragam, basi. 

Yang Modern menjadi junjungan, dengan fatwa: peningkatan modal, produktivitas, dan efisiensi dimana manusia dan alam semata-mata objek.

Pak De Jokowi dalam jawatannya ke Festival Keraton Nusantara XI (26/11/2017) konon berpesan kepada para raja dan sultan seantero Nusantara agar para sultan, raja, pangeran dan pemangku adat keraton-keraton nusantara, untuk terus menjaga, merawat dan melestarikan warisan nilai-nilai budaya adiluhung tersebut.

"Namun saya juga ingatkan, kita tidak boleh berhenti hanya pada membangga-banggakan kejayaan masa lalu, tapi kita harus bisa menjadikan warisan nilai budaya para pendahulu kita sebagai modal budaya untuk menghadapi tantangan bangsa ini, hari ini maupun di masa depan," kata Pak De.

Agaknya, pesan yang disampaikan Pak De ini malah lebih penting dijadikan bahan pertimbangan Pak De sendiri ketimbang para Raja dan Sultan tersebut, karena nyatanya pembangunan di Indonesia bahkan hingga era Pak De pun masih bertolak belakang dengan pesan tersebut.

"Pembangunan" yang kita bangga-banggakan harus diakui berkiblat ke pemikiran luar bukan dari budaya kita sendiri. Padahal bangsa kita sudah dianugerahi sebuah filosofi hidup yang luar biasa yang tertuang dalam Pancasila dan sejalan dengan filosofi lokal, contohnya Tri Hita Karana yang menjadi pedoman hidup masyarakat di Bali.

Subak perwujudan nilai Pancasila

Dalam masyarakat Bali, dikenal sebuah sistem masyarakat Agraris yang disebut dengan Subak. Konon katanya, sistem ini sudah dikenal bahkan sebelum abad 11 ditilik dari pertama kali kemunculan kata "Subak" dalam prasasti Pandak Bandung yang memiliki angka tahun 1072 M. 

Dari penanggalannya, Subak sudah eksis sebelum Agama Hindu masuk dan berasimilasi dengan Bali yang berarti Subak sendiri adalah peninggalan asli dari kebudayaan Nusantara.

Sistem Subak mencerminkan filosofi Tri Hita Karana yang secara harafiah berarti "Tiga penyebab terjadinya kebahagiaan dan kesejahteraan". Bila hubungan antara Manusia dan Tuhan (Parahyangan), Manusia dan Manusia (Pawongan), serta Manusia dan Lingkungannya (Palemahan) berjalan secara selaras dan harmonis maka tercapailah hidup yang bahagia dan sejahtera.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline