Lihat ke Halaman Asli

Belajar Kearifan dari Tokoh Punakawan

Diperbarui: 4 Januari 2018   15:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: rebanas.com

Indonesia itu sebenarnya sangat manusiawi bahkan sebelum Indonesia itu ada. 

Tokoh Punakawan dalam pewayangan itu salah satu contohnya. Di pewayangan, tidak hanya bicara soal Epos, tapi kearifan dari masyarakat itu sendiri. Cerita yang ditampilkan dalam pewayangan banyak yang merupakan gubahan dan adopsi dari cerita Mahabratha atau Ramayana yang kemudian disisipkan kearifan-kearifan lokal. 

Berbeda dari versi India, cerita yang disajikan lewat pewayangan tidak hanya menggali nilai-nilai luhur dan mengemasnya dalam lakon raja-raja dan dewata namun juga menampilkan dalam lakon yang lebih membumi seperti abdi dalem, pedagang, bahkan jongos. Eksistensi punakawan adalah simbol yang digunakan untuk menegaskan bahwa nilai-nilai luhur bisa dimiliki oleh siapapun.

Punakawan itu konon terdiri dari dua kata 'Pana" berarti paham dan "kawan" berarti teman. Dalam pewayangan, Punakawan adalah abdi atau pengasuh dari Raja-Raja ataupun dewa yang dirinya sendiri adalah dewa. 

Dalam kisahnya, Tualen adalah manifestasi Bathara Ismaya, Merdah adalah manifestasi Bathara Wisnu, Delem adalah manifestasi Bhatara Brahma, dan Sangut adalah manifestasi  Bhatara Mahadewa. 

Karena eksistensinya adalah seorang Dewa dan sekaligus abdi, tokoh Punakawan merombak kehirarkisan struktur sosial dengan pesan bahwa menjadi manusia berarti siap memimpin dan siap dipimpin dan kearifan serta pengetahuan itu bisa hadir dalam bentuk yang dalam masyarakat kini sering disepelekan.

Mereka adalah gambaran dari laku masyarakat. Seringkali Punakawan menjadi sangat lokal namun sekaligus universal. Karena begitu luasnya Nusantara, beda wilayah, kadang beda lakon Punakawannya. 

Di Bali sendiri dikenal empat punakawan: Tualen, Merdah, Sangut dan Delem. Tualen dan Merdah biasanya ada disisi protagonis, sedangkan Sangut dan Delem di sisi antagonis. 

Polarisasi ini menggambarkan pengertian Nusantara bahwa manusia pada hakekatnya memiliki dua sifat yang saling seimbang, Hitam dan Putih serta segala yang ada diantaranya. Mereka "mewakili" sikap miliaran manusia yang dirangkum ke dalam 4 gambaran umum.

Tualen/Malen menggambarkan pribadi manusia yang "tidak tahu dirinya tahu". Dia kontemplatif, murni bersandar pada batin, sederhana dan penuh kearifan.

Merdah menggambarkan pribadi manusia yang "tahu dirinya tahu". Dia paham, berani dan penuh percaya diri. Dari Merdah kita belajar sekalipun pemikiran kita yang benar, yang benar-benar lurus, kalau dipaksakan ke orang lain, cara memaksa ini yg mengundang perdebatan dan arogansi..

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline