Ada yang menarik ketika saya pulang ke kampung halaman baru-baru ini. Sekitar 11 Km dari pusat kota Denpasar, daerah rumah saya bisa dikatakan rural menuju sub-urban, kalau orang Bali bilang, Desa (baca: De.se). Jadi, bukanlah pemandangan yang aneh bila di suatu sore yang sejuk, kamu melihat kakek-kakek bersepeda tanpa baju membawa cangkul dari/ke sawah, atau ibu-ibu mengangon babi di jalan raya, atau gerombolan bebek yang menyeberang jalan sendiri. Nggak Aneh.
Yang aneh adalah fenomena yang saya temui waktu nangkil atau beribadah ke salah satu Pura di rumah. Itu pertama kalinya saya melihat gebogan yang disusun dari minuman dengan kemasan botol plastik dan kaleng alumunium.
Buat yang belum tahu, Gebogan atau Pajegan adalah satu bentuk persembahan berupa susunan dan rangkaian makanan (termasuk juga buah-buahan dan bunga-bungaan) yang disusun indah umumnya dijunjung oleh ibu-ibu atau gadis-gadis Bali untuk dibawa dan ditempatkan di pura dalam rangkaian upacara Panca Yajna (Piodalan dan sebagainya). –berdasarkan Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu (I-XV) ditetapkan oleh Mahasabha Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Dalam artikelnya 'Gebogan', Perwujudan Rasa Terima Kasih, Ngurah Belayu menyebutkan Gebogan dibuat sebagai bentuk wujud rasa terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan limpahan makanan dan buah-buahan kepada umatnya. Sebagai simbol untuk menunjukkan rasa terima kasih ini maka dibuatlah gebogan ini.
Gebogan biasanya dibuat dari buah-buahan atau penganan hasil bumi oleh si empunya hasil bumi untuk dihaturkan kepada Tuhan YME sebagai perwujudan rasa terima kasih. Kalau ditilik struktur gebogan bisa dibagi menjadi beberapa bagian: dasar, tengah, dan atas. Di bagian dasar, gebogan ditopang oleh potongan kayu yang dibuat menyerupai piring dengan tambahan satu kaki yang disebut dulang. Dibagian tengah, mula-mula akan dipasang batang pisang yang kecil yang difungksikan sebagai 'batang' untuk gebogan. Buah-buahan dan penganan (yang biasanya dari beras atau jagung) dipilih sebagai pengisi gebogan. Bagian paling atas adalah porosan atau canang yang terbuat dari janur (daun kelapa) dan bunga sebagai simbolisasi kesucian dan persembahan bagi Gebogan tersebut. Dilihat dari penyusunnya, terlihat bahwa sebagian besar masyarakat Bali tempo dulu (masih relevan sampai 200 tahun yang lalu) hidup dari hasil bertani dan berkebun.
Begitulah filosofi Bali pada umumnya, apa yang kita dapat dan nikmati di dunia ini adalah berkah dari Yang Maha Pencipta, sehingga sebagai wujud syukur kita sisihkan apa yang kita dapatkan dan nikmati itu sebagai persembahan. Simpelnya, apa yang kita makan, itulah yang kita persembahkan Kepada Tuhan.
Sekarang kembali lagi ke Gebogan dengan minuman dengan botol plastik dan kaleng, ada dekonstruksi yang terjadi terhadap gebogan itu sendiri. Botol plastik khususnya jelas mencerminkan modernisasi, gaya hidup yang serba praktis dan instan dan terkadang plastik (palsu). Dengan adanya botol plastik itu di dalam Gebogan, berarti masyarakat Bali mengamini bahwa modernisasi telah merambah ke seluk beluk kehidupan, bahkan tradisi dan religius. Botol Plastik berasimilasi, atau mungkin lebih tepatnya mengakuisisi kehidupan orang Bali.
Dalam memberikan persembahan, canang atau banten yang dahulu dibuat sendiri dengan menjahit janur dan merangkai bunga yang ditanam sendiri, sekarang dapat dengan mudah dibeli (dibungkus kantong plastik, pastinya). Buah-buahan, padi-padian, umbi-umbian yang dulu didapatkan dengan hasil keringat sendiri di sawah/ladang sekarang menanti di swalayan. Bahkan, mainan tradisional pun yang dulu dibuat bersama teman-teman sejawat sambil bercengkerama pun sekarang kalah pamor dengan gadget-gadget terbaru atau konsol-konsol kekinian. Kekurangan uang? Tinggal jual tanah warisan, no problemo. Semua serba instan.
Perubahan pola tampilan Gebogan juga menjadi indikasi perubahan pola konsumsi orang Bali. Dulu yang namanya jajanan dan buah-buahan semua telanjang. Seadanya mereka diambil dari alam atau dibuat dengan proses alami, begitulah mereka ditampilkan. Sekarang, boro-boro telanjang, semuanya harus dilapisi plastik.
Pernah suatu ketika saya bertanya pada ibu kenapa harus dikemas plastik. Jawabannya? "Pang sing daki (baca: biar nggak kotor)". Aneh, Padahal, malah plastik itu yang sekarang jadi salah satu pencemar lingkungan paling merusak. Yang alami bukan lagi jadi yang baik, lebih baik pakai plastik. Ini terjadi hingga di daerah pedesaannya.
Belum lagi perubahan pola konsumsi tidak diikuti dengan perubahan pola pikir dalam mengelola material. Jelas plastik tidak bisa diberi perlakuan yang sama dengan bahan-bahan alami. Bila masih ada yang tersisa setelah dihaturkan, bahan-bahan alami akan terurai dan kembali lagi menyatu dengan alam secara alamiah. Plastik bila dibuang ke alam baru akan terurai lebih dari 300 tahun. Bahkan setelah terurai, masih saja bisa mencemari alam. Mengenyampingkan fakta itu, orang Bali telah terbiasa dengan plastik hingga plastik menjadi alami.