Teringat perjalanan saya ke Kepulauan Anambas di awal bulan September 2014, saya menikmati semua hal menakjubkan yang disuguhkan salah satu kepulauan di rantai Kepulauan Riau tersebut: makanannya, pantainya, gunungnya, dan kotanya. Namun, satu ingatan yang hingga kini masih membuat saya bergidik tiap kali mengingatnya adalah bagaimana mereka, penduduk kota Tarempa, membakar secara masal bagian dari diri mereka sendiri: sampah rumah tangganya.
[caption id="attachment_344821" align="aligncenter" width="300" caption="Sampah dibakar di TPS Rintis Hilir, Tarempa (sumber: dokumen pribadi)"][/caption]
Mungkin kalian berpikir bahwa saya terlalu dramatis. Membakar sampah memang bukanlah sebuah hal yang aneh di dalam sistem perilaku masyarakat Indonesia, atau di sebagian besar negara berkembang lainnya. Christine Weidinmyer, salah satu peneliti di The National Center for Atmospheric Research, dalam makalah penelitiannya yang berjudul Global emissions of trace gases, particulate matter, and hazardous air pollutants from open burning of domestic waste, memperkirakan sekitar 40% dari total sampah yang dihasilkan diseluruh dunia atau sekitar 1.100.000.000 ton sampah dibakar secara liar setiap tahunnya. Membayangkan jumlah angka nolnya saja sudah cukup membuat lutut saya lemas.
Indonesia mungkin tidak masuk ke dalam 5 besar negara penghasil sampah terbanyak versi penelitian ini. Negara yang beruntung (atau mungkin tidak) berturut-turut adalah: Cina, US, India, Japan, dan Brasil. Dengan memperhitungkan kesuperioran bangsa Aria, Jerman yang berada diurutan ke-6 terasa tidak adil bila tidak saya sebutkan.
Tapi tidak semua dari negara tersebut jadi biang kerok dalam urusan bakar membakar ini. Ternyata, negara-negara berkembang dengan jumlah populasi penduduk yang besar yang mengambil andil besar menyebar polusi udara akibat pembakaran liar sampah domestik mereka: Cina, India, Brasil, Meksiko, Pakistan dan Turki. Dimana posisi Indonesia? tidak jauh.
[caption id="attachment_344838" align="aligncenter" width="819" caption="sumber: Weidinmyer, 2014"]
[/caption]
Indonesia kini berada di posisi 10 besar. Dengan tingkat penambahan penduduk Indonesia yang mencapai 1,89% per tahun dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang mencapai 8% per tahun bisa jadi dalam kurun waktu 5-10 tahun lagi Indonesia akan memuncaki daftar negara pesakitan tersebut. Kenapa saya sebut negara pesakitan? Karena dengan perilaku seperti itu, mereka pelan-pelan menyakiti diri mereka sendiri juga masyarakat global.
Weidinmyer menganalisa pola konsumsi negara-negara yang dominan melakukan pembakaran sampah liar tersebut dan memperkirakan sekitar 29% dari total emisi debu partikulat antropogenik (dihasilkan oleh manusia) berukuran kurang dari 2,5 mikron (PM 2,5) dihasilkan dari pembakaran sampah liar. PM 2,5 di udara dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia, sering kali berupa gangguan pernapasan, amfisema, sampai kerusakan paru-paru.
Selain itu, pembakaran sampah liar juga menyumbangkan 10% dari total polusi timbal di udara serta 40% pencemaran gas-gas yang diketahui sebagai Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs). Pencemar-pencemar ini diketahui dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia berupa: memperlemah fungsi jantung, gangguan syaraf, kanker, bahkan serangan jantung.
Bukan itu saja, walaupun jumlah karbon dioksida - hasil pembakaran karbon dalam bahan-bahan organik seperti sampah daun atau sampah dapur- yang dihasilkan tidak terlalu besar tapi kontribusi terhadap peningkatan gas rumah kaca global cukup signifikan yakni sebesar 5%. Gas rumah kaca merupakan gas yang dapat memerangkap panas matahari sehingga menghasilkan efek seperti di dalam rumah kaca. Gas rumah kaca juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pemanasan global. Ingat gambar beruang kutub yang terkenal itu? Ya, itu yang kita lakukan pada mereka.
[caption id="attachment_344829" align="aligncenter" width="270" caption="sumber: http://www.renmingtang.org/images/FME%20Group/PolarBearsInPeril-6.39.18-PM.jpg"]
[/caption]