Bagi FPI, umat Islam garis keras, umat Islam moderat anti Jokowi, politisi opurtunis, serta naga taipan yang terganggu kepentingannya, ada seribu alasan untuk demo 212 atau demo-demo berikutnya. Bukankah demo tidak akan berhenti sampai lebaran kuda? Bukan pada penghinaan pada kitab suci atau pelecehan agama yang mereka perangi, tetapi membela kepentingan dan vested interest orang-orang dibelakang layarlah yang terjadi. Ahok hanyalah pemicu yang dimanfaatkan untuk membangkitkan nafsu membela agama ghirah Islam dari umat yang merasa dizholimi, menjadi korban dari situasi. Nalar dan paradigma menjadi korban dari situasi politik dan ekonomi yang ditanamkan oleh ulama-ulama radikal bisa bergema dan membentuk "mental tezholimi".
Persis seperti Mourinho yang mau membangkitkan semangat fight pemain-pemain sepak bola di bawah asuhannya dengan dengan mental terkepung musuh dari berbagai penjuru (siege mentality), orang-orang dibelakang layar demo 212 memantik api membangkitkan ghirah Islam umat dengan teori konspirasi dan mental terzholimi. Mourinho bisa membuat narasi bagaimana dunia luar berkonspirasi untuk menjatuhkan timnya. Bahkan saat melatih Real Madrid, UNICEF pun dituduh ikut berperan untuk menjegal Real Madrid menjadi juara. Mereka mengobarkan semangat dengan narasi Islam tersisihkan di negeri sendiri. Orang asing dan aseng menjajah pribumi. Kafirun melecehkan agama dan kitab suci. Dan Ahok, orang yang berdiri dengan kukuh melawan kekuatan-kekuatan hitam dan mafia DKI dan bersuara dengan lantang dan kasar melawan pejabat dan anggota dewan yang korupsi, menjadi sasaran bersama yang harus dibasmi.
Dan kebetulan, musuh-musuh Ahok adalah lawan-lawan Jokowi. Dan kebetulan FPI yang didukung Arab Saudi sangat khawatir dengan kebangkitan Iran dan aliran syiah di negeri ini. Dan kebetulan Demokrat yang berkuasa selama dua periode dipenuhi oleh pejabat-pejabat yang korup yang membuat mangkrak ratusan proyek pemerintah. Dan kebetulan pentolan-pentolan partai banyak yang dipenjara karena korupsi. Dan kebetulan proyek Hambalang menjadi monumen korupsi terbesar negeri ini. Dan kebetulan Amien Rais tidak suka Jokowi yang mengalahkan saudaranya dalam pilkada di Solo. Dan kebetulan Rahmawati merasa dialah pewaris ideologi Sukarno bapaknya dan percaya UUD 45 murni adalah solusi. Dan kebetulan Ahmad Dhani sudah tidak laku menyanyi dan butuh aktualisasi diri. Dan Sarumpaet kebetulan perlu musuh untuk mengalihkan depresi. Dan kebetulan beberapa purnawirawan gatal karena lama tidak berlatih strategi. Dan Cendana diam-diam unjuk gigi.
Narasi besar yang dibangun adalah Islam yang dizholimi. Namun kepentingan yang dibawa bervariasi. SBY dengan demokrat berharap Ahok tersingkir dan Agus bisa berkuasa di DKI. Mereka juga berharap korupsi masa lalu bisa dikubur dan tidak diselidiki. FPI berharap dana terus mengalir ke pundi dan bisa menjadi corong besar Islam di negeri ini. Amien Rais berharap bisa melengserkan Jokowi. Rahmawati berharap bisa relevan dengan Indoensia lagi. Ahamda Dhani dan Sarumpaet berharap keberuntungan mendatangi. Dan lagi-lagi Cendana berharap, bisa berkuasa lagi.
Sementara ribuan umat Islam yang berdemo, entah murni karena merasa terzholimi ataupun terprovokasi mereka yang berada dibelakang layar memantau dan mendorong aksi. Saat pendemo berjalan kaki ratusan kilo dan siap mati demi narasi besar Islam terzholimi yang digulirkan oleh tangan-tangan yang tidak kelihatan, politisi hitam oportunis bersorak-sorak dan berteriak: "Akhirnya lu mati Ahok!'. Ketika pendemo bersholat bersama dengan khuzuk di Monas, mereka yang terganggu kepentingan oleh reformasi rezim Jokowi berkumpul di ruang ber-AC dan berstrategi. Ketika pendemo mengibarkan panji-panji dan spanduk supaya Ahok dibui, koruptor dan anggota dewan DKI bersorak-sorai dan berkata: "Rasakan lu Ahok!". Saat pendemo kelaparan dan kehausan karena ghirah dan semangat mereka yang berapi-apai, mafia hitam dan bos judi siap memberi pasokan gizi.
Ada ribuan alasan untuk demo 212. Narasi besar Islam yang terzholimi telah menggerakkan umat untuk beraksi. Namun demikian, mereka tidak sadar telah dipakai tangan-tangan tak kelihatan untuk kepentingan-kepentingan politik mereka. Pada akhirnya, pendemo tidak akan pernah menang. Merekalah korban sesungguhnya dari elit politik, koruptor, dan mafia yang kepentingannya terganggu karena sepak terjang Ahok dan Jokowi.
Salam Kompasiana! Merdeka!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H