Lihat ke Halaman Asli

Rodrigo Duterte, Prabowo, dan Fasisme Populis

Diperbarui: 11 Mei 2016   23:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seandainya Prabowo dalam pemilihan yang lalu menunjukkan diri sebagai seorang jagoan dan berani bicara secara terbuka tanpa tedeng aling-aling, mungkin sekarang dia telah menjadi presiden Indonesia. Namun sayang, Prabowo tidak seperti Rodrigo Duterte yang berani blak-blakan tentang apa yang sudah dilakukan dan akan dilakukan sebagai presiden. Prabowo tampil sebagai mantan jenderal cemen. Saat ditanya tentang penculikan di zaman Suharto, dia hanya bisa berkata, "Tanyakan pada atasan saya."

Bandingkan dengan Rodrigo Duterte yang lama menjadi Gubernur di Davao. Secara terang-terangan dia bangga dengan tindakan inkonstitusionalnya dengan membunuh para kriminal dan pengedar obat-obatan. Saat jadi Gubernur, dengan tangan besinya, dia membentuk skuad pembunuh para kriminal. Dia bahkan berani berkata: "Persetan dengan hak asasi manusia! Penjahat, pengedar, dan mereka yang menjadi sampah masyarakat pantas dibasmi." Tak ayal lagi pers menjulukinya The Finisher, Sang Pembinasa! 

Tentang Marcos, diktator yang selevel dengan Suharto, dia berani memuji sebagai Presiden terbaik Philipina kalau saja dia tidak memerintah terlalu lama dan korupsi begitu banyaknya. Bagi Rodrigo Duterte, pemerintahan fasis tangan besi adalah solusi semua masalah negara, utamanya maraknya kejahatan dan bertambahnya kemiskinan. Rakyat Philipina menyukainya karena sikabnya yang urakan, apa adanya, dan tidak punya sopan santun karena tutur katanya kasar dan sering kontroversial. Dia sangat transparan dan tidak ada yang disembunyikan. Dengan memilih Rodrigo Duterte, rakyat Philipina tahu, apa yang akan didapatnya: Fasisme Populis.

Rodrigo Duterte memang berbeda dengan Prabowo yang bekas tentara. Di depan publik pada saat kampanye Prabowo selalu bersikap santun dan tutur katanya terukur. Dia menampakkan diri sebagai mantan jenderal yang tegas, namun berbicara seperti politisi senayan yang dibenci rakyat. Dia memberikan janji yang normatif dan menghindari belang masa lalunya. Setiap kali ditanya, jalur menghindar adalah jurusnya. Karena itu rakyat Indonesia melihatnya tidak otentik--munafik dan penuh kepalsuan. Kemunculan Prabowo seakan selalu tampak bertopeng dan seakan membawa agenda rahasia yang dibungkus dan dipoles dengan bahasa politisi karbitan. 

Bahkan sekarang, Prabowo masih terjebak dengan agenda rahasia dengan menyumbang tenda untuk mereka yang tergusur di Jakarta. Apa maunya? Agaknya Prabowo selalu berada di tempat yang salah dan waktu yang salah, dan bergaul dengan orang yang salah. Dia sudah out of touch dengan keinginan rakyat banyak.

Seandainya Prabowo bangga dengan masa lalunya dan berkata bahwa penculikan pada masa itu adalah tugas negara yang berada dalam situasi dan konteksnya, mungkin rakyat akan memaafkannya. Apalagi kalau dia berani secara terbuka menghadirkan agenda-agenda politiknya untuk Indonesia merdeka yang berdaulat, apa pun ongkosnya.

Untunglah, rakyat Indonesia jeli dan berpikir jernih. Prabowo yang didukung partai-partai pecundang yang dibenci rakyat akhirnya tumbang. Jokowi, dengan populisme-nya sendiri, akhirnya menjadi pemenang demokrasi. 

Kita bisa bersyukur, Rodrigo Duterte tidak ada di Indonesia. Kita bersyukur, Fasisme a la Suharto sudah berakhir dan kita tidak mau mengulanginya lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline