Aneh, partai-partai di DKI, utamanya PDIP, kelabakan karena akhirnya Ahok menjadi Cawagub independen. Isu deparpolisasi pun digulirkan dan tampak sekali parpol tidak siap menerima check and balance dari rakyat. Sebagai kekuatan politik, parpol memang tergantung dari rakyat. Namun mengapa kemuakan kepada parpol semakin besar saja? Jawabannya mudah. Parpol telah berkhianat pada konsituennya: rakyat.
Pertama, rakyat sudah sangat benci dan muak dengan korupsi. Namun kenyataannya, kebanyakan elit politik parpol berlomba-lomba ingin kaya dengan jatah tidak resmi alias korupsi: sogokan, kongkalikong, dan main belakang. Hiruk pikuk di awal pemerintahan Jokowi sangat mencerminkan kebobrokan elit politisi. Pada waktu itu elit politis PDIP mendukung jadi Kapolri padahal yang bersangkutan terindikasi menggemukkan kantong sendiri dari uang tidak resmi. Bahkan Hasto, Sekjen PDIP, sempat mengungkapkan kekecewaanya pada KPK dan Megawati sempat punya ide untuk membubarkan KPK.
Yang kedua, Indonesia sebenarnya bukan negara multi partai, tetapi satu partai saja. Tertulis di statuta partai platform dan tujuan partai yang kelihatannya berbeda-beda. Namun kalau ditelisik, parpol di Indonesia sama saja: tidak punya ideologi yang jelas selain mengabdi pada uang alias kapitalis alias pengusaha pemilik modal yang ingin menjarah negara. Parpol di Indonesia sama saja tidak pernah memikirkan rakyat kebanyakan. Coba tanya Yusril mengapa dia mau menjadi gubernur?
Coba tanya Lulung suara rakyat apa yang diembannya di DPRD? Sekali lagi, di negara ini hanya kelihatannya saja ada banyak partai tetapi sebenarnya partai-partai itu hanya menyuarakan suara yang sama dan membela mereka yang punya duit. Mau tahu bagaimana kelanjutan mufakat Jahat Setnov dan Riza Chalid? Mereka punya uang dan partai bahkan aparat negara tak bisa apa-apa.
Yang ketiga, kebanyakan partai munafik. Berkata A tetapi melakukan B. Benar untuk "kami" tetapi salah untuk "mereka". Dalam kasus PKS, anggota partai yang telah terbukti korupsi tidak pernah dipecat, bahkan dilindungi karena telah dianggap berjasa untuk partai. Sementara mengaku demokratis, tetapi tidak tahan dengan suara fals-nya Fahri Hamzah. Sementar mengedepankan "cinta dan harmoni," tetapi menendang mereka yang berbeda. Setali tiga uang, PDIP yang mendengungkan revolusi mental, tidak pernah bisa merevolusi mental elit partainya. Katanya tidak ada mahar, tapi diam-diam minta biaya.
Yang keempat adalah dendam yang terus terbawa dan sakit hati yang menghalangi kerjasama, tidak bisa move-on, dan sifat kekanak-kanakan elite partai dan pendukung fanatiknya. Jelas saja rakyat muak disuguhi dendam yang tidak ada juntrungnya, menghindari pertemuan antara elite partai mereka. Megawati tentu saja salah satunya. Tentu termasuk mereka golongan "panasbung" yang telah mengalami "jonruisasi" dalam rivalitas Jokowi-Prabowo.
Karena itu, pembusukan dan pengerdilan parpol jangan salahkan pemimpin independen. Coba parpol mau berkaca, apa yang telah mereka perbuat untuk rakyat? Bagaimana perilaku wakil-wakil rakyat, bupati dan gubernur yang diusung oleh parpol? Puaskah rakyat dengan layanan mereka? Suara rakyat dalam demokrasi tidak bisa "take it for granted." Parpol dengan elite partainya harus bekerja lebih keras menjadi suara yang benar-benar mewakili rakyat--bukan malah mau mengebiri suara rakyat.
Salam kompasiana! Merdeka!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H