Bosan dengan politik Indonesia yang disesaki berita Kalijodo, Gedang Kepok terbelalak mendengar Paus Francis mengomentari kandidat Partai Republik Donald Trump. Bilyuner selebriti yang bersemangat membangun tembok batas yang masif dan indah di perbatasan AS dan Meksiko disebut Paus Francis bukan orang Kristen karena hanya memikirkan tembok pemisah, bukan jembatan pemersatu.
Paus yang baru saja mengunjungi Meksiko ini, menurut Gedang Kepok telah melakukan blunder besar karena Trump berhasil mengkapitalisasi kritikan Paus ini untuk kepentingan politiknya, yang tidak mungkin malah bisa membawanya menjadi presiden Amerika.
Kritikan Paus pada Trump berlatar belakang isu imigran yang sedang menjadi kontroversi. Di Eropa, imigran dari Timur Tengah, utamanya Siria dan Irak telah membuat Uni Eropa kacau dan Pegida (Organisasi anti Imigran/Islam Eropa) naik daun dengan membanjiri jalan-jalan kota besar di Jerman, Perancis, Belanda, dll. Di AS, imigran gelap Meksiko menjadi isu besar. Trump menuduh mereka kriminal, pemerkosa, dan penjual narkoba. Pasca serangan teroris di Perancis dan Bernardino, Trump bahkan mengancam untuk menyetop total imigran Islam sampai ditemukan akar masalah mengapa banyak orang Islam membenci Amerika.
Dan kembali ke komentar Paus ke Trump, Gedang Kepok hanya bisa geleng-geleng kepala. Semangat kemanusiaan Paus Francis memang melatar belakangi komentar tersebut. Mungkin pula Paus tidak ingin Trump yang arogan, bombastis, dan anti imigran menjadi presiden Amerika. Namun yang mungkin kurang dipahami oleh Paus, situasi terkini politik Amerika dan suasana batin banyak orang di sana.
Sebagai gambaran, pendukung Partai Republik kebanyakan adalah Kristen Evangelis, dan banyak dari mereka tidak suka dengan Gereja Katolik atau pun Paus. Orang Katolik di AS yang kurang lebih 20%-30% lebih condong ke Partai Demokrat. Mereka yang simpatisan Partai Republik kebanyakan adalah Katolik konservatif yang tidak sejalan dengan pandangan Paus Francis yang progresif dan pragmatis. Terlebih lagi, orang Amerika selalu merasa superior dan tidak mau diatur, terutama dalam hal politik dalam negeri.
Kritikan Paus untuk Donald Trump justru memberi legitimasi bahwa dia mandiri dan tidak bisa dsetir oleh siapa saja, termasuk Vatikan. Pendukung Trump akan semakin bersemangat dan semakin banyak kalangan independen memilihnya karena kritikan Paus ini.
Dan ada satu lagi faktor besar yang membuat kritikan Paus bisa menjadi senjata bagi Trump untuk merebut suara rakyat Amerika: kepiawaiannya berkomunikasi baik secara langsung dalam pertemuan akbar yang dihadiri ribuan orang atau pun melalui media masa, serta twitternya. Trump dengan twitternya yang difollow jutaan orang telah berhasil meyakinkan pengikutnya. Bahasanya lugas dan cenderung vulgar tetapi mampu memikat rakyat yang marah dan tidak puas pada para politisi, yang hanya bisa bicara tetapi tidak pernah beraksi. Bahkan dalam analis para ahli bahasa, twitter Trump selalu mengikuti kaedah retorika: logis (logos), dapat dipercaya (ethos), dan membangkitkan emosi (pathos).
Dalam tanggapannya terhadap kritikan Paus yang menyebut dirinya bukan Kristen, dia kurang lebih berkata:
"Tidak elok (disgraceful) seorang pemimpin agama mempertanyakan keyakinan/iman orang lain."
Trump di sini mengingatkan Paus yang pernah menanggapi isu tentang pastor homoseksual yang pernah bekerja di Vatikan dengan berkata: "Siapakah saya bisa menghakimi (men-judge) orang lain atas imannya/perilakunya."
Dengan retorika yang mengingatkan rakyat Amerika tentang teroris, Trump bahkan berkata: