Mati 'ngenes' adalah istilah Bahasa Jawa untuk menggambarkan orang yang meninggal dengan penuh penyesalan atau penuh penderitaan. 'Ngenes' adalah gambaran perasaan sakit hati, masgul, dan penuh kekecewaan terhadap diri sendiri dan lingkungan. Kisah seorang tentara yang memotong tangannya dan 'anu'-nya sendiri gara-gara gagal naik pangkat dan gagal menyunting gadis idamannya dapat digunakan sebagi ilustrasi ke-'ngenes'-an yang dialami. Kisah lainnya, Ryan yang jebolan S2 minta pe-legal-an suntik mati karena tidak tahan hidup 'ngenes'. Spertinya tidak hanya rakyat biasa yang bisa mengalami hidup penuh dengan ke-'ngenes'-an dan akhirnya mati 'negenes'. Mantan presiden dan bahkan raja bisa hidup 'ngenes' dan mati 'ngenes'. Tentu derajad ke-'ngenes'-annya bisa berbeda-beda.
Kalau dalam konteks Indonesia, tentu kita bisa ambil Soekarno sebagai contoh ke-'ngenes'-an ini. Dalam pengasingan setelah digulingkan Suharto, kehidupan Soekarno memang 'ngenes' sekali. Dia tidak boleh ditemui sembarang orang dan dia tidak boleh membaca koran. Dari segi kebebasan pribadi dan kematiannya yang jauh dari gemerlap, akhir masa Soekarna memang 'ngenes', tetapi dia tetap seorang pahlawan di hati banyak rakyat Indonesia. Kematianya, diratapi jutaan orang dan membuat Soeharto pun ketakutan.
Lain Soekarno, lain pula Soeharto. Meski terjungkal dari kekuasan dalam kekacauan reformasi, akhir hidupnya tidak tergolong 'ngenes' karena dia masih punya tangan-tangan tak kelihatan yang memberi perlindungan dan bahkan akses kekuasaan. Akhir hidupnya masih dalam lingkaran kemewahan dan dikelilingi anak-cucu. Saat kematiannya pun banyak orang meratapi dan menganggapnya pahlawan yang berhasil menyelamatkan Indonesia dari komunisme dan memberi dasar bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Soeharto, dalam hal ini tidak mengalami ke-'ngenes'-an yang sebenarnya.
Mirip dengan Soeharto adalah Gus Dur. Dia dipaksa mundur tetapi tetapi warisannya pada bangsa Indonesia tetap tak terlupakan. Dasar-dasar demokrasi dan pluralisme Indonesia yang kita nikmati saat ini adalah warisan perjuangan Gus Dur. Benar dia digulingkan sebagai presiden, tetapi tidak ada gambaran ke-'ngenes'-an pada akhir masa hidupnya.
Dalam jagad kontemporer Indonesia, kehidupan Prabowo mungkin dapat menggambarkan ke-'ngenes'-an ini. Kegagalan dan ke-tidak-legowo-an membuat hati masgul, dendam membara, dan kepala panas berdenyut-denyut. Bayangkan saja, Prabowo yang sejak muda sudah jadi pangeran dan percaya suatu saat akan menjadi presiden Indonesia harus akrab dengan kekalahan. Kekalahan terakhir yang kita dengar adalah kegagalannya di MK. Tertutup sudah peluangnya untuk menjadi presiden untuk saat ini dan ke-'ngenes'-an pun membayangi.
Di Jepang, tentara yang kalah tidak mau mengalami hidup 'ngenes' dan memilih mati dengan seppuku. Di Jakarta, Ryan berjuang untuk melegalkan Euthanasia (suntik mati) agar dirinya bisa secara legal bebas dari hidup 'ngenes'. Mungkin Prabowo dan pendukungnya sudah saatnya berpikir untuk mendukung upaya Ryan ini supaya ada jalan legal upaya terakahir menghindari hidup 'ngenes' ini.
Semoga tidak ada lagi mati 'ngenes' untuk para pemimpin Indonesia. Semoga tidak ada hastag #ngenes di dunia maya.
Salam Kompasiana! Salam Demokrasi! Merdeka!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H