Lihat ke Halaman Asli

Bocah Pinggiran

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dulu, rumahku tak sekecil ini.

Lebih besar juga luas. Biar cuma berdinding anyaman bambu, bolong di sana-sini, berlantai tanah dan diterangi bohlam kecil sebesar 5 watt bercahaya redup kekuningan di tiap-tiap ruangannya.

Kampung ini juga tak sesesak sekarang.

Masih ada halaman luas tanpa pagar, batang-batang bambu tua tiang jemuran dan pohon buah-buahan di tiap teras rumah. Lebih dari sekadar lapang buat tempat main bocah-bocah kampung sepertiku. Maklum, waktu itu belum ada PSP, smartphone, internet, atau game center macam Time Zone. Satu-satunya mall di kota ini cuma ada di Malioboro. Selain bisa dijangkau pakai becak,andong dan taksi, juga bisa naik bis kota. Tapi, Ibu tak pernah sudi menghamburkan uang buat hal-hal sepele semacam itu. Yah, dibilang sepele karena buat makan sehari-hari saja kami kembang-kempis. Ibu bilang, asal bisa makan tiap hari dan bisa sekolah. Itu sudah cukup.

Makanya, setiap pukul 12 siang sepulang sekolah, aku dan kawan sekampung kumpul di halaman depan rumah Mak Lampir. Si nenek tetangga sebelah yang galaknya amit-amit tapi tahu isi buatannya terkenal paling enak di kampung. Bisa dibilang, aku ini penggemar setia tahu isi buatannya dari harga 50 perak sebiji sampai 250 perak sebelum akhirnya pensiun di awal tahun 2000 an.

Oke, abaikan tahu isinya. Bikin lapar.

Biar masih bocah, aku dan kawan sekampung lumayan sibuk.

Jam main kami panjang, mulai dari pukul 12 siang sampai pukul 5 sore sebelum diseret Ibu masing-masing buat mandi sore. Itu tidak termasuk  jam tidur siang karena tidak diperlukan. Bocah yang masih taat tidur siang biar sudah sekolah itu cemen. Bakal jadi bahan olokan yang level malu-maluinnya setara sama ketahuan ‘ngompol padahal sudah gede.

Tiap siang terkumpul 7– 8 bocah, 3 di antaranya berumur tanggung.

Cuaca panas, terik, udara kering dan berdebu bukan masalah. Mau main kasti, petak umpet, gobaksodor, atau perang ketapel pakai peluru buah buni muda. Selalu ada permainan seru dan kubu yang berbeda setiap harinya. Semua benda di sekitar bisa jadi mainan baru. Taruh saja kemasan botol plastik bekas shampoo yang sedang tren, menggantikan kemasan sachet, bisa jadi pistol air semprot sederhana dan murah meriah. Atau, sandal jepit bekas bisa jadi kapal layar di sungai kecil belakang rumah Pak Yoram dan bungkus permen Sugus bisa jadi ketapel mini, cuma dengan diikat karet gelang di kedua ujungnya. Lumayan buat rusuh di kelas pas lagi bosan.

Bicara soal permainan berkelompok, jelas Kasti menempati urutan pertama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline