Lihat ke Halaman Asli

Nyonya Tua

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari ini kuawali dengan segelas teh panas.

Dua iris tipis mendoan hangat dan tayangan gosip selebriti murahan di televisi.

Persis seperti hari-hari sebelumnya.

Di luar rumah terdengar raungan mesin si Nyonya Tua milik kakak lelaki sulungku

yang mulai batuk rejan karena sudah kelewat uzur,

tapi masih saja dipaksa berlarian di jalan selama 10 tahun terakhir.

Aku sendiri berpikir, sudah waktunya motor itu pensiun dan beralih fungsi menjadi rongsokan.

Kalau saja aku ‘sedikit’ kaya, kupertimbangkan untuk jadi koleksi nostalgia di teras rumah

bersama pot-pot tanaman hiasku atau mungkin kuhibahkan pada yang lebih membutuhkan.

Sekadar becak motor atau motor penarik gerobak sampah juga masih oke.

Sayangnya, aku ini ‘lumayan’ miskin. Jangankan mau dihibahkan, aku sendiri saja

masih sangat membutuhkan jasa si Nyonya Tua.

Jadi, aku menyerah sajalah soal menghibahkan ataupun soal koleksi nostalgia tadi,

toh masih bisa dipaksa sedikit sampai ajalnya nanti.

Kurasa, itu juga bukan ide buruk.

Setidaknya, aku dan si sulung ( sebut saja demikian ) itu sudah saling setuju.

Selain si Nyonya Tua, ada juga si Merah di rumah.

Motor matic keluaran Honda milik kakak perempuanku itu macam primadona saja.

Selalu jadi andalan, selalu jadi puja puji tetangga sekitar yang ‘trenyuh’

dan terharu melihat lompatan derajat keluarga kami,

yang kadung dilabel ‘miskin selamanya’ sejak 30 tahun yang lalu.

Bukannya sombong, bukan pula sok merendah tapi begitulah kenyataannya.

Kami ini miskin.

Yah, setidaknya itu dulu.

Bahkan, kalau otak ini tidak salah mengingat atau sirkuitnya tidak rusak.

Ada tetangga sebelah yang datang tergopoh-gopoh mengucapkan selamat

sambil menangis terharu sewaktu si Merah diantar ke rumah oleh pihak dealernya.

Saat itu, yang terlintas di benak kami sekeluarga adalah betapa absurdnya

reaksi tetangga sebelah kami ini.

Ini cuma motor lho, bukannya jumbo jet lengkap dengan pilot,

pramugari, hangar dan landasan pacunya.

Serius !!!

Oke, abaikan saja ocehan di atas tadi.

Karena, saat ini si Nyonya Tua-lah yang akan jadi topik utamanya.

Bicara soal si Nyonya Tua.

Beliau ( ehem.. ) sudah setia menemani perjalanan panjang keluarga kami

sejak 10 tahun yang lalu.

Menggantikan tugas si Mayor, onthel jawa klasik yang setelah melewati masa satu dekade

berevolusi menjadi pixi tanpa meninggalkan bentuk oldiesnya yang khas.

Tolong jangan tanya kenapa dan bagaimana bentuknya, otak ini sulit mendeskripsikan

dan jari-jari ini kelewat malas menuliskan rinciannya.



Jadi si Mayor yang dulunya menjadi tunggangan setia si sulung ini

diwariskan kepada si bungsu untuk menemaninya pulang pergi ke sekolah semasa SMK.

Dan si Nyonya Tua memulai perjalanan karirnya menjelajah Jogja dan sekitarnya.

Melahap rute Malioboro – Ambarukmo ( sekarang Ambarukmo Plaza ) – Jl. Kaliurang setiap harinya,

dari pagi hingga malam hari dan diulang kembali esok paginya, begitulah seterusnya.

Kebayang ‘kan, betapa capeknya beliau ?

Apalagi sewaktu dipaksa melindas rute Parangtritis – Bantul – pelosok Magelang

demi rute kencan si sulung dan pacar barunya Lebaran lalu.

Si sulung ini memang terkenal sadis karena ketidak-peduliannya terhadap si Nyonya Tua.

Yang dia tau cuma sebatas memakainya setiap hari dan main kasar setiap kali lampunya mati.

Hampir setiap sudut bodi beliau pernah kena gebrak tangan si sulung yang segede kingkong.

Padahal selama 10 tahun mengabdi, beliau ini tak pernah absen

dipakai praktek stunt ini dan itu di jalan.

Entah tabrakan, ‘nyungsep, sliding atau malah kejepit jeruji pagar bilah bambu tetangga.

Sempat juga sih beliau ‘ngambek selama berhari-hari

dan menuntut perawatan pasca tubrukan berantai tersebut.

Tapi, dasarnya si sulung ini gak punya welas asih.

Selesai perawatan yang seadanya pun beliau kembali digeber tanpa ampun

sampai ada parts tertentu yang tiba-tiba rontok selagi jalan, salah satunya – Knalpot.

Sulit merincikan kronologi kejadiannya karena semua terjadi begitu saja

dan jangan harap ada reka ulang ataupun versi slow motionnya.

Sejauh yang kuingat, itu terjadi di tahun pengabdian beliau yang ke-4.



Awalnya, si sulung menjemputku pulang dari kantor jam 10 malam seperti biasanya.

Tanpa ‘ngoceh ini itu, si sulung langsung menjalankan si Nyonya Tua,

begitu pantat imutku menancap di jok kusamnya.

Sekali lagi kutegaskan, ‘menjalankan’ lho ya … bukan, ‘tancap gas’!!!

Karena kecepatan beliau cuma melulu di angka 20 km/jam, paling banter 40 km/jam

dan itu cuma terjadi sekali, saat melewati tanjakan dekat Gereja Kotabaru.

Oke, anggap saja kami sedang merayapi jalanan Jogja yang sepi lengang

tanpa saingan kendaraan lainnya.

Setelah lebih dari separuh jalan saling diam saja, si sulung tiba-tiba berkotek ~



“ Heh, nanti kalo ada yang jatoh, bilang ya, “



Langsung saja aku menciap dengan jawaban ‘OKE!’,

sambil bertanya-tanya – apa sih maksudnya tadi.

Kutengok kanan kiri. Rogoh saku jaket dan celana. Periksa tas dan paperbag di tangan.

Kali-kali aja ada isinya yang nongol dan berpotensi jatuh kececer tanpa disadari.

Tapi, hasilnya NIHIL. Semua, aman terkendali.

Trus, apaan dong ?



Dan, semua terjawab di tikungan samping kampus USD yang terkenal gelap

dan punya beberapa deret gelondongan polisi tidur di sepanjang jalannya waktu itu.

Si Nyonya Tua menikung pelan-pelan,

berbelok dan melompati gelondongan polisi tidur yang pertama dengan ‘ngototnya.

Niat hati sih, gak mengurangi tenaga biar gak ‘nyangkut di polisi tidurnya,

tapi apa daya, baik beliau maupun kenyataan berkata lain.

GABRUKKK !!!

KLONTAAAANG !!!

Kami bertiga spontan berhenti mendadak.

Mesin mati dan si sulung langsung terpingkal-pingkal di tempat

setelah sempat menoleh ke belakang.

Sekitar 2 meter di belakang kami, knalpot kusam si Nyonya Tua teronggok di atas jalan aspal

gara-gara menghantam badan polisi tidur dan ( mungkin ) rontok karena tersangkut.

Itu sangat memalukan, sodara.

Sekaligus kocak.

Karena yang kami lakukan selanjutnya cuma duduk di pinggiran trotoar

menunggu knalpot yang masih panas, mendingin.

Kemudian, baru dibawa ke bengkel terdekat.

Yah, sekitar 1,5 km dari TKP.



Sampai saat seluruh mendoan hangat dan teh panas di meja makan ludes tak bersisa pagi ini.

Cerita gugurnya knalpot si Nyonya Tua masih sanggup mengocok perut kami sekeluarga.

Pagi ini pun, si Nyonya Tua siap mengantarkanku dan si sulung ke kantor masing-masing.



Berjuanglah Nyonya, kami semua masih membutuhkanmu ~

:D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline