Kau duduk merenungi sepi dengan lembab pipimu. Air matamu adalah tinta bening di bawah langit Malang yang merenung mendung.
Tak kuasa kau bendung rindumu, lantas kau bertanya pada selembar awan pekat yang lewat di atas kepalamu, "di manakah jalan pulang untuk sebuah rindu?"
Dan hujan memberimu tanda tanya yang semakin panjang di bawah langit Malang yang telah sunyi menanti runtuhnya hujan menjelang senja.
Milania,
rindumu telah menjelma hujan rabu kelabu. Air matamu adalah samudera yang tak usai dilayari bahtera waktu.
Seperti sekian banyak puisi rindu yang tak usai kau tulis dengan air mata, penantian panjangmu adalah bahtera terakhir yang tak kunjung menemukan pelabuhan untuk melabuhkan seluruh rindu.
Milania,
kau adalah sepi yang sekarat di tengah birunya lautan rindu. Kau harusnya sekuat rindu ibumu yang setia dan tabah menanti kepulangan anak gadisnya yang tak pulang-pulang_
Malang, 13:31
10/1/2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H