Lihat ke Halaman Asli

Askara Aksara

tempat paling menyenangkan untuk berhitung dengan aksara

Media Sosialnya Keluarga

Diperbarui: 22 Juli 2017   20:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Keluarga adalah sebaik-baiknya rumah, senyaman-nyamannya hangat, seberharganya nyawa. Keluarga adalah satu-satunya tempat yang akan menerimamu dalam kondisi apapun. Keluarga adalah pengantar sekaligus pelindung dari dunia ini, juga dari dunia kita sendiri. Begitu berartinya keluarga, kita selalu menempatkannya di urutan pertama, tidak peduli sepenting apa urusan di luar sana keluarga tak bisa disampingkan. Tapi itu dulu, dulu sekali. Mungkin saat aku masih berada di sekolah dasar. Semakin meningkat tingkat sekolah, ilmu pengetahuan, juga pergaulan dengan dunia luar yang sulit terpantau mata keluarga, makna diatas hanyalah kiasan, cuma kata mutiara di buku-buku tua.

Tidak lagi ada yang benar-benar menomorsatukan keluarga. Tidak percaya? Coba saja lihat dan perhatikan gerakmu sendiri. Setiap pagi yang biasanya ibu membangunkan untuk sholat subuh tapi telepon pintar yang pertama kali kita lihat saat membuka mata. Mungkin bisa karena kita ingin memastikan jam berapa saat itu. Bisa saja, tapi bukankah sudah menjadi kebiasaan kita untuk terus melanjutkan dengan membuka aplikasi media sosial? Dan akhirnya kita lupa dengan cerewetnya ibu saat membangunkan kita. 

Ada lagi: bagaimana teriakan ibu yang mengingatkan untuk makan malam tapi jawabannya selalu sama setiap malam, "Sebentar" sambil menatap lekat telepon pintar. Baru beberapa teriakan lagi dan beberapa menit kemudian kita menuruti kata ibu. Sambil makan pun tidak jarang kita sibuk dengan telepon pintar dan mengabaikan anggota keluarga yang lain. Masih mau mengelak? Kita tidak bisa mengelak apapun yang ditawarkan teknologi super yang telah berkembang seperti sekarang.

Gaya hidup yang menuntut kita untuk membutuhkan telepon pintar demi ketidaktertinggalan akan sebuah informasi dan media sosial mengambil peran paling banyak. Bukan berarti aku menyalahkan media sosial yang membuat manusia bumi menjadi pecandunya, tidak, karena aku termasuk salah satu pecandu itu. Tapi aku ingin membuat kadar candu itu sewajarnya saja. Sewajar saat ingin mengetahui apa yang sedang terjadi di negara sendiri juga negara lain, sewajar saat ingin mengetahui bagaimana ilmu (sains dan umum) begitu berdampingan, sewajar saat ingin mengetahui kegiatan yang sedang, telah, akan dilakukan orang-orang terdekat, dan sewajarnya saja untuk mengetahui hal lain. 

"Tapi, tapi, tapi sebentar, boleh tidak ya media sosial menjadi penghubung untuk sebuah hubungan? Bisa tidak ya media sosial menjadi penguat sebuah hubungan, terutama dengan keluarga? Agar kata keluarga selalu pertama bisa dibangkitkan kembali, bisa dipertahankan dengan lebih lagi, dan Harganas tidak hanya sebuah momen yang harus dirayakan tapi sudah dibuat nyata dalam bentuk tindakan".

Seharusnya sih bisa, kan kita yang menggunakan, kita yang melakukan, kita juga yang merasakan. Lagipula Harganasbisa makin panas dan ganas jika kita bisa bersama-sama menggunakan media sosial tidak hanya untuk kita sendiri tetapi juga untuk keluarga. Bukankah dunia ini akan indah dan tanpa peperangan dalam keluarga jika seperti itu? (Naif saja dulu, toh belum dilarang). Betapa tidak, menyapa di media sosial, saling berkomentar dan menanyakan kabar, dan yang lebih menyenangkan lagi bisa bertemu dengan keluarga jauh yang telah menghilang. Jangankan keluarga jauh, yang dekat saja bisa makin merekat, jauh pun kian mendekat pula. 

Tidak ada salahnya bukan mengurangi kekesalan keluarga terhadap kelakuan kita yang tidak bisa lepas dengan telepon pintar. Terkadang aku melakukan berbagai cara untuk tidak membuat keluargaku kesal dengan kelakuanku yang satu itu. Beberapa caraku itu :

  1. Saat ibu berteriak untukku meletakkan telepon pintar, aku dengan segera pamer foto kakak perempuanku di salah satu media sosial dengan caption yang kubaca keras-keras. Jadilah ibuku ikut nimbrung  dan semakin ingin tau foto-fotonya di media sosial itu. Biasanya hal ini berakhir dengan ibu yang menelpon kakakku itu.
  2. Saat aku jauh dari keluarga untuk kuliah, homesick yang susah hilang bisa terobati dengan video call sampai berjam-jam. Pernah sampai kuota habis karena itu (ini memang kuotaku yang tinggal sedikit :))
  3. Upload foto-foto kegiatan di kampus dalam rangka pamer ke keluarga. Percayalah ini bisa menjadi topik pembicaraan yang penuh canda tawa hingga amarah yang meluap-luap. Ini juga menjadi salah satu media untuk belajar menjadi anak jujur.
  4. Sharing informasi terkait berita terkini yang masing-masing di dapat dari berbagai media termasuk media sosial. Wadah untuk berdebat dan mendebat di keluargaku selepas maghrib. Tapi selalu berujung pada hal yang tidak jelas dan tertawa

Empat hal di atas kukira tidak sulit untuk dilakukan. Demi Harganas yang tidak hanya Harganas Lampung tetapi Harganas kita semua. Karena dipisahkan atau dipaksa pisah dari keluarga akibat perceraian orang tua dan hal lainnya yang bisa menimbulkan perpecahan dalam keluarga itu rasanya lebih sakit daripada selalu menyalahkan diri sendiri. Dan alangkah baiknya jika keluarga tetap menjadi sebaik-baik tempat untuk pulang sekalipun pernah terasa tidak nyaman. Bukankah memang begitu seharusnya?

https://www.facebook.com/gecci.dwiprasetyo?hc_ref=ARTvXqMsUNiz6LkmmUmteLZdJCtDf9TcCXNrwYa4yT58oXdhcX9_02xZYO2RQRt5928&fref=nfhc_ref=ARTvXqMsUNiz6LkmmUmteLZdJCtDf9TcCXNrwYa4yT58oXdhcX9_02xZYO2RQRt5928&fref=nf

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline