Lihat ke Halaman Asli

Hamid El Gazel Saefulloh

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta 23107030133

Dalam Diam, Mata Berbicara

Diperbarui: 12 Oktober 2024   16:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

Malam senja itu, aku duduk di sebuah kafe dekat kampus, ditemani segelas es teh yang dingin dan laptop yang terbuka. Suasana kafe terasa hangat dengan cahaya lembut dari lampu-lampu yang menyala, sementara langit di luar mulai menggelap, dihiasi dengan warna-warni jingga dan ungu. Di tengah kesibukan mengerjakan tugas, aku tak menyangka hari itu akan menjadi titik awal dari sebuah kisah yang tak terduga.


Tiba-tiba, dua mahasiswi baru memasuki kafe. Salah satunya adalah dia, yang langsung menarik perhatianku. Mereka mendekat ke mejaku dengan senyuman dan sedikit canggung, bertanya tentang perkuliahan dan pengalaman di kampus. Aku merasa jantungku berdegup kencang setiap kali tatapannya bertemu dengan mataku. Dalam percakapan singkat itu, kami saling tersenyum, namun ada rasa tegang yang membuatku tidak bisa sepenuhnya santai.

Setelah beberapa menit berbincang, mereka pamit untuk pergi. Saat mereka berbalik, aku merasa ada sesuatu yang tertinggal di udara. Semangat berani membawaku untuk mencari akun Instagram-nya dan menekan tombol "Follow." Saat notifikasi muncul bahwa dia mem-follow balik, hatiku berdebar. Dari sinilah segalanya dimulai.

Di malam-malam berikutnya, kami mulai saling chatting di Instagram. Obrolan kami dimulai dengan topik ringan, kemudian berkembang menjadi lebih dalam. Tak lama setelah itu, kami merencanakan untuk mengerjakan tugas bersama di kafe yang sama, sebuah langkah kecil yang terasa berani.

Ketika malam itu tiba, kami duduk bersama dengan secangkir es teh di meja. Suasana kafe semakin hangat dengan lampu-lampu yang berkelap-kelip, menciptakan nuansa yang nyaman. Kami tertawa, berbagi cerita, dan secara perlahan canggung itu menghilang. Namun, ada momen di mana kami terdiam, hanya saling menatap. Dalam keheningan itu, mata kami berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang terucap.

Percakapan kami pun meluas ke WhatsApp. Dari obrolan tentang tugas kuliah, kami mulai berbagi cerita pribadi---mimpi, harapan, dan bahkan rasa cemas tentang masa depan. Setiap pesan yang kami tukar semakin memperkuat hubungan kami. Rasanya, meski kami berkomunikasi lewat layar, ada keintiman yang tak bisa dipungkiri.

Dalam setiap pertemuan, baik di kafe maupun di kampus, rasa nyaman itu terus tumbuh. Tatapan mata kami tetap menjadi jembatan komunikasi yang kuat, bahkan saat kami tak banyak bicara. Dalam setiap malam senja, saat langit gelap dan bintang mulai bermunculan, ada kedamaian dalam kehadirannya. Tatapan yang saling bertemu dalam keheningan seolah mengungkapkan semua yang kami rasakan---bahwa hubungan ini lebih dari sekadar pertemanan.

Kini, saat aku mengenang malam-malam senja itu, aku tersenyum. Dari perkenalan sederhana di kafe, kami telah membangun sesuatu yang lebih bermakna. Dalam diam, mata kami berbicara---menciptakan sebuah kisah yang indah, diwarnai oleh pertemuan-pertemuan yang tak terduga dan tawa yang tak terlupakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline