Lihat ke Halaman Asli

NewK Oewien

Sapa-sapa Maya

Kali Masa Kini

Diperbarui: 23 Maret 2018   09:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: foresteract.com/bantenprov.go.id

Alif sedang khusyuk menyetir. Melewati jalan yang telah banyak memahat kenangan. Kenangan masa sekolah dulu. Pergi-pulang berjalan kaki, baik hujan membuat gigil atau pun panas memangsa.

Ia pun senyum-senyum sendiri. Tapi bukan karena mengeja kenangan. Untung usahanya yang dua kali lipat dari target mampu menyingkirkan kenangan masa lalu di benaknya..

Tiba-tiba bunyi dering yang cukup nyaring membuyarkan lamunan. Ia mendadak ngerem. Mobil yang dikendari nyaris oleng. Karena dari layar Handphonenya terpapar suatu pemanggil yang cukup penting. Ia menepi---kali aja memberi untung dan harus balik lagi, pikirnya.

Ke bawah Pohon kerontang ia menjawab panggilan. Sambil bercakap-cakap dengan orang seberang, ia memandang jauh, pada hamparan sawah yang sekarat dan Kali yang tidak sebagaimana mestinya Kali atau memang titah masa kininya seperti itu.

Tapi apa? Orang penting tak selalu melahirkan hal penting. Setelah cukup lama bicara, ia memutus kontak, secara sepihak. Rupanya, hanya basa-basi semata. Meski mitra usaha lama, saat-saat sulit dulu selalu memotivasi, tapi yang ditawarkan tersirat maksud parasitisme belaka---merugikannya dan balik menguntungkan mitra.

Sesungguhnya dalam kesehariannya ia selalu sebagai pihak diuntungkan, bukan sebaliknya. Makanya mendengar itu cukup mengundang rasa geli, maksudnya mudah ditebak. Setelah menggeleng-gelengkan kepala dengan senyum nyinyir perutnya mules.

Ia merasa aneh, meski dibawah Pohon tetap merasa gerah. Dulu saat sekolah Pohon itu tak jarang memberinya teduh. Lelehan keringat sering dikipas oksigen yang disemburkan daun-daun rimbunnya. Ke batang kokohnya ia bersandar memecah lelah.

Jelas saja ia tidak mau seperti Pohon ringkih tempatnya berteduh. Perlahan layu sebelum waktunya. Daun-daunnya menguning dan bisa dihitung dengan jari. Juga sangat tidak mengundang agar menyandarkan tubuh pada batangnya. Bekas gerogotan ulat-ulat bersembulan. Siapa pula yang mau gatalan?

Ia terus tersenyum---yang kali ini sambil mengenang kisah masa kanak-kanak di bawah Pohon. Jadi jelas hitungan matematisnya menolak tawaran penelpon, karena dampaknya sama seperti berteduh dibawah Pohon atau bersandar pada batangnya. Hanya merugikan, kecuali dulu.

Benar saja, perutnya benar-benar mules. Kebelet berlevel siaga. Ia memeriksa sekeliling. Untuk sampai ke rumahnya lumayan jauh dan begitu pula balik lagi ke arah ia datang---kota.

Liang duburnya sudah seperti liang ayam yang hendak bertelur. Tapi yang memaksa diri keluar bukan telur, malah sesuatu yang menjijikkan. Ia memandang ke segala penjuru, mencari-cari suatu tempat pelampiasan. Tidak ada. "Sial!" geramnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline