Lihat ke Halaman Asli

NewK Oewien

Sapa-sapa Maya

Muter-muter di Jakarta Memang (tidak) Seru

Diperbarui: 7 November 2017   22:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kompas.com

Bagi saya yang anak Kampung, bisa disebut juga kampungan, bisa menelusuri setiap lekuk Kota Jakarta adalah ekspektasi yang sangat dielu-elukan. Jakarta adalah sebuah kota yang menggambarkan segela pemuasan hasrat untuk menikmati mahakarya dari orang-orang intelek. Seperti gedung pencakar langit dan sebangsanya.

Juga rumah dari para penghibur yang biasa ditonton di layar kaca. Sebagai pemuja pesohor, tentu saja bisa menatap secara langsung atau meminta tanda tangan adalah menjadi sasaran hasrat, yang nantinya akan dianggap sebagai simbol kelengkapan dari ritual pemujaan. Maka, siapa yang tidak ingin ke Jakarta?

Saya yang tahun 2009 menetap di Bandung, yang terhitung dekat dengan Jakarta, hingga dalam benak saya sudah ditulis: jika ada waktu luang, Jakarta pasti saya rambah.

Tiba juga waktunya memenuhi hasrat itu, pada pertengahan 2010, saat baru pulang dari kampung halaman. Ketika itu saya tiba di Bandung seminggu sebelum masuk jadwal rutinitas.

Setelah menghubungi seorang teman di Jakarta, tinggal di wilayah Mampang Prapatan, saya pun berangkat. Bersama saya turut ikut juga seorang teman yang tak kalah kampungannya dengan saya, asal Padang Sibusuk, Sumatra barat. Taura namanya. Tega lo gak ngajak saya, katanya.

Kami yang kegirangan akan perjalanan itu berangkat dari Terminal Lewi Panjang, dengan tujuan Terminal Lebak Bulus. Dengan membayar lima puluh ribuan untuk satu tiket, Bus pun akhirnya sudi mengantar kami.

Sebenarnya saya sudah pernah melewati Kota Jakarta, empat kali. Melalui jalan tol saat pulang pergi dari Kampung halaman ke Bandung. Secara kebetulan saat melintas, tiga kali di malam hari, rasa ngiler semakin menjadi-jadi, hanya dengan memandang gemerlapan lampu-lampu dari gedung-gedung Kota Jakarta. Saya menghibur diri dengan kata "suatu hari nanti", ya, saya yakin karena ada banyak kenalan dari daerah di sana, juga sudah turut mengundang.

Kami pun sampai di Terminal Lebak Bulus mendekati Zuhur. Tentu saja kami kebingungan dengan keramaian Jakarta yang asing. Apalagi banyak yang mau menawarkan jasa. Anehnya hanya pada kami, orang-orang lain lalu-lalang begitu saja, tak ada yang menyapa. Ramah sekali orang itu pada kami. Mungkin alasannya melihat kami yang kaku dan dekil. Hingga dipikirannya pantas diberi pertolongan. Kami pun menolak, karena sudah ada yang jemput.

Saya pun langsung menelpon yang akan kami jadikan tour guide (Muhardi) selama di Jakarta. Katanya tunggu sebentar, ia sudah naik Bus. Sebab itu kami memilih menunaikan Ibadah Zuhur dulu di sebuah Masjid kecil di Sudut Terminal.

Selesai Salat hampir jam satu. Kami langsung menunggu di tempat yang dijanjikan, dekat halte Transjakarta. Sambil memandang lalu lintas yang lebih padat dari Jl. A. Yani, Bandung di sore hari. Bakal lama ini, keluh Taura. Karena itu saya menghubungi Muhardi lagi, sudah sekitar Pukul 14:00.

"Masih lama kamu?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline