Lihat ke Halaman Asli

NewK Oewien

Sapa-sapa Maya

Masjid Keramat

Diperbarui: 15 Oktober 2017   22:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lintasgayo.co

Meski kencan semalam masih menyisakan kilauan asmara. Tapi pagi ini, walau suasana pagi berhiaskan embun yang seyogyianya menenteramkan, hatiku malah tak menentu. Musababnya, paksaannya agar aku memburu waktu menghalalkannya.

Sedang cerita wali perempuan tidak meminta mahar tinggi sudah kuanggap hanya cerita dongeng dari masa lalu. Rata-rata calon mempelai pria harus menyediakan empat puluhan juta rupiah jika ingin jadi mempelai, seperti halnya ayah kekasihnya. Terkadang aku mengutuk, sebab hidup di zaman kini, bukan dulu.

Tembok tebal embun basah menyamarkan pandangan pada orang-orang yang sudah lalu lalang. Bagi mereka simpulan tanggung jawab yang sudah terikat lebih menakutkan ketimbang cekaman dingin. Atau angan yang sudah bulat lebih menggoda daripada bermanja di tungku perapian. Ya, yang terakhir itu yang kutiru. Aku pun bergegas.

Beno, seprofesi—buruh kasar—dengan ku, lebih dulu hadir. Lelaki seumuranku yang sudah beristri itu teman curhatku. Ia paling tau prihal masalahku. Kami jadi kuli kasar pembangunan Masjid Kampung.

Kubah Masjid yang dulunya berkerangka kayu dengan tudungan ijuk pohon aren telah diruntuhkan. Meski awalnya renovasi tersebut ditantang keras sesepuh kampung. “Tak perlu dirubah. Itu akan mengurangkan keramatnya,” protes salah satu kaum tua. “Waktu itu berjalan. Sudah seharusnya kita ikut perkembangan,” bujuk kaum muda.
Kata sepakat akhirnya memenangkan kaum muda. Tapi dengan syarat dana pembangunan hanya boleh dari sedekah warga kampung—tidak boleh dari politikus yang tidak jelas cara memperoleh uangnya, itu akan mengotori Masjid. Kotak amal yang bersahaja di depan Masjid diperbesar.

“Lesu amat,” sapa Beno.

“Terus apa harus loncat-loncat?”

“Haha... eh, itu bagus untuk ngusir rasa dingin.” Sambil mengerlingkan mata dan meregangkan tubuhnya.

Aku enggan milihatnya. Sebab rasa dingin akan sirna setelah bekerja. Itu leluconnya saja.

Pandanganku malah tertuju pada kotak amal. Belum ada sepeser pun uang yang kujatuhkan ke dalam tubuh gemuk itu. Mataku selalu silau menatap benda itu.

“Dari kotak itu masalah akan sembuh,” terangnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline