Lihat ke Halaman Asli

NewK Oewien

Sapa-sapa Maya

Dilema Petani Ganja Gayo Lues Sebelum Pensiun

Diperbarui: 12 Oktober 2017   21:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kampung Agusen, salah satu kampung yang dulu banyak petani Ganja (Dokumentasi Pribadi)

Tentu suatu perbuatan yang tidak dilegalkan punya alasan yang jelas, mulai dari yang merugikan pribadi, kelompok, negara dan bahkan bisa jadi dunia. Dan jelas orang yang melakukan perbuatan ilegal juga punya alasan, baik itu tidak tau, ragu-ragu, mendekati tau dan bahkan bisa jadi sepenuh sadar.

Untuk orang yang melakukan perbuatan ilegal yang tidak tau, selain karena memang benar-benar tidak tau bisa juga dicurigai kewarasannya. Pada bagian pelaku yang ragu-ragu, mendekati tahu dan sadar betul pasti ada alasan yang mendasarinya. Salah satu biang alasan yang paling lumrah adalah menyangkut salah satu ciri makhluk hidup: makan.

Kalau sudah menyangkut urusan perut, seperti kita ketahui, biasanya mudah saja mata hati yang sejatinya harus terang malah padam, gelap. Karena, "perutnya" tidak kenyang-kenyang, jadilah Bapak ANU sebagai Koruptor.

Begitu pula dengan kisah, yang menurut saya pilu, dari kebanyakan urang Gayo Lues, Aceh yang melabrak perbuatan yang belum ada legalisasinya dari pemerintah: membudidayakan/memproduksi ganja.

Saya yang baru betul-betul "sadar" mulai tahun 2008/2009, kalau saya terlahir di lingkaran Petani Ganja---yang saya tau saat itu semua sudah pensiun. Sadar yang saya maksud bahwa pada kebenarannya orang-orang yang hilang dari kampung hingga sepuluh hari lamanya, adalah orang-orang yang melakukan perbuatan ilegal "sepenuh sadar" dengan alasan mencari makan. Ya, mencari makan. Tapi pertanyaannya, apakah harus menempuh jalur "kiri" untuk memenuhi kebutuhan perut tersebut? Seperti yang sebut di atas, tentu ada alasannya untuk itu.

Kita semua tahu, kecuali yang hingga saat ini masih berusia anak SD, bahwa sebelum tahun 2005 bumi yang berjulukan Serambi Mekah ini dilanda konflik yang berkepanjangan. Konflik yang telah menumpahkan darah itu, ada juga yang melayang nyawanya tidak tau apa-apa, juga dengan dalih yang tak kalah kompleks yaitu urusan makan, tepatnya masalah kesejahteraan.

Mungkin seperti halnya yang ditakutkan pemerintah saat ini, walau hanya sekedar kerusuhan saja bisa menghalangi investor masuk, apalagi konflik bersenjata. Konflik yang mengenaskan itu otomatis menyulitkan akses masuk ke tempat kelahiran saya. Hingga kebutuhan yang kurang tidak bisa didapat, dan sebaliknya penghasilan yang berlimpah tidak bisa dikirim keluar daerah. Hal itu tentu menyengsarakan. Lebih-lebih ada semacam "pemalakan" dari pihak berseteru pada masyarakat yang sudah semakin tersempitkan.

Lantas, apa mereka bangga berprofesi sebagai Petani Ganja? Saya kira kebanyakan tidak.

Prosesnya yang tidak mudah
Kalau ada pemahaman kita saat ini (khusus orang luar), bahwasanya tumbuhan terlarang itu hidup di pekarangan, jelas saya katakan itu fitnah.

Saya sering mendapat pertanyaan dan penghakiman yang menjengkelkan itu. Mulai dari orang sekelas tukang nasi goreng keliling langganan, teman seperjuangan yang menganggap sudah sebagai "lelucon" dan bahkan orang-orang yang terhormat, dosen.

Di awal-awal perantauan saya ke Bandung (2009), tentu hal yang paling saya butuhkan adalah makan dan itu berkelanjutan. Menyangkut itu, sebab beberapa hal saya memilih berlangganan dengan penyedia kenyang, warteg dan tukang nasi goreng keliling dalam catatan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline