Lihat ke Halaman Asli

NewK Oewien

Sapa-sapa Maya

Lagi-lagi Serai Wangi jadi "Malaikat Penolong" di Bulan Ramadan

Diperbarui: 7 Juni 2017   08:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Serai yang baru dipanen/Dokumentasi Pribadi

Anjloknya berbagai (tidak total) harga hasil pertanian, sebagai pelengkap nyanyian pilu atau semacam siksaan bagi sebagian petani di bulan Ramadan ini.

Ya, tentu yang menderita bukan mereka para petani yang sudah dilabeli sebagai 'petani bourjois', karena pasti kaum yang sudah berlevel tinggi itu punya simpanan yang bisa dibelanjakan.

Melainkan petani yang kurang pendidikan. Karena mereka tidak pernah memikirkan ihwal permintaan pasar. Maka tidak jarang mereka memproduksi barang yang tidak laku di pasaran atau tidak terlalu laku. Selain itu kebanyakan mereka ikut (-ikutan) menjadi petani karena bercermin dari ‘bringas’nya harga sebelumnya, petani plin-plan. Yang seperti itu yang menyakitkan, jika pas mereka panen harga kebetulan merosot.

Jadi, memang seyogianya petani mengikuti pelajaran Menejemen, “produksilah barang yang laku dijual, bukan sebaliknya.” Soal bagaimana menerawang, jangan tanya ke saya. Hehe.

Di kampung penulis ada beberapa tanaman yang dibudidayakan petani, umumnya Gayo Lues. Yang tergolong tanaman jangka pendek yaitu cabai (rawit dan keriting), bawang merah, tembakau dan berbagai jenis sayuran (termasuk tidak banyak hasil). Yang tergolong tanaman jangka panjang yaitu minyak atsiri (serai wangi dan nilam), kopi (belum banyak), cacao (lumayan banyak) dan kemiri (agak banyak).

Harga terbaru (06/06/2017) dari ke semua hasil pertanian jangka pendek, hanya bawang merah yang mulai sedikit berharga. Setelah sebelumnya tidak ada tauke atau pengepul yang mau membeli, maka harus ‘diobral’ ke pasar Blangkejeren yang tidak seberapa menyerap. Kini sudah ada tauke sudah mulai membeli dari petani. Walau pun harganya masih di bawah Rp. 10.000/kg, tapi itu menjadi pilihan utama dari petani.

Selain itu, harga kedua jenis tanaman jangka pendek lainnya masih jauh dari harapan para petani. Cabai Merah Keriting (CMK) masih anteng di sekitaran Rp. 2000, yang hijau tidak laku dan untuk Cabai Rawit Hijau Rp. 4000/kg. Sedangkan harga untuk Tembakau—yang mana tanaman ini sudah memiliki sejarah panjang di Gayo Lues—juga sangat jauh dari harapan.

Petani sedang menjemur Tembakau/Dokumentasi Pribadi

Ada dua jenis ketentuan harga tembakau di Gayo Lues (sangat kompleks, tidak ada harga pasaran), yaitu berdasarkan kualitas dan berdasarkan irisan: kasar dan halus (juga ditentukan kualitas). Harga baru-baru ini: untuk yang berkualitas baik sekitar Rp. 30.000/Kg (yang diiris kasar lebih murah) dan untuk yang berkualitas rendah, sering disebut “Keretek”, hanya di bawah Rp. 15.000/kg (yang diiris kasar lebih murah).

Selain yang tergolong dalam tanaman jangka pendek, sebagian tanaman kebalikannya juga memiliki harga yang cukup rendah dan kadang tidak musim berbuah. Hanya satu tanaman yang menjadi ‘malaikat’ penolong di bulan ramadan ini, yaitu Serai wangi. [untuk lebih jelas tentang Serai wangi sebelumnya saya pernah menulis: di sini minyak atsiri menghasilkan dan perlu perhatian]

Tumbuhan yang bernama latin Chimbopogon Nardu itu cukup banyak dibudidayahakan di Gayo Lues. Selain sebagai penghasilan sampingan dan banyak juga sebagai usaha utama. Alasannya: selain pertumbuhan tanaman perdu itu sangat subur juga perawatannya tidak terlalu rumit, seperti layaknya tanaman lainnya.

Minyak atsiri yang mengandung Citronelladan Granoil—alasan nyamuk tidak suka—itu dihargai cukup mahal, yaitu Rp 225.000/Kg. Harga itu pemecah rekor, karena beberapa bulan sebelumnya atau tahun lalu masih di bawah Rp 200.000/Kg.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline