Lihat ke Halaman Asli

NewK Oewien

Sapa-sapa Maya

Komar Oh Komar

Diperbarui: 13 April 2017   05:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi Komar. sumber: https://makhluklemah.wordpress.com (09/04/2017)

“Komar,” Teriak seseorang. “Dari mana aja? Gak pernah keliatan.”

“Dari kampung sebelah pak.”

“Oh. Besok kerja di Kebun ya,” Pinta pak Mahmud. “Motong rumput.” Lanjutnya.

Lebam di pundaknya belum juga kering, sudah ada saja yang memesan tenaganya. Pekerjaannya memang penting. Semua orang Kampung membutuhkan disaat-saat tertentu. Tak jarang juga puluhan orang rebutan menyewa jasanya.

Ia baru pulang dari kampung tetangga. Seorang berprofesi serupa mengajak duet. Kerja borongan. Awalnya ia enggan ikut. Tapi menurut keterangan pengajak, upahnya menjanjikan. Tanpa memikirkan kesulitan kerja, dengan pertimbangan upah ia setuju. Komar memang rakus akan rupiah. Bukan menimbun—tapi, memenuhi serentetan kebutuhan primer yang belum terpenuhi secara layak.

Dengan perasaan tanggung jawab sebagai kepala keluarga ia selalu siaga atas pesanan tenaganya. Karena laju kebutuhan semakin semangat melaju. Meninggalkan orang-orang yang lamban mengimbangi. Seperti Komar dan golongan. Untuk itu ia pun berusaha menampung segala peluang, tidak hanya menunggu ia juga mencari. Ia berada di belakang dan terus mengejar, pikirnya walau tidak mampu mengibangi biar selangkah di belakang, andai kata itu juga tidak, tak apa; asal jangan di posisi buncit.

Komar ditekan berlebihan oleh kehidupan. Bertubuh kurus, seakan kulitnya hanya membungkus tulang semata. Pekerjaan berat mencairkan dagingnya—sampai lenyap. Tulang pipinya bertonjolan. Giginya berguguran entah ke mana. Ia berjalan sempoyongan—agak pincang.

“Abang jangan bekerja terlalu keras.” Sering adiknya menegur.

“Gak da lain. Mau gimana lagi?”

Meski tak tega melihat pekerjaan berat Komor, adik-adiknya tidak bisa berbuat lebih. Tungku dapur adik-adiknya hanya satu anak tangga saja diatasnya, mungkin juga sebagian tidak sampai.

Di bahunya tertempel luka basah. Memar. Luka sebesar uang logam bergambar rumah adat Padang itu ia dapat saat memundak kayu di kampung tetangga. Pekerjaan seberat itu memang sudah lama ia tanggalkan. Seiring dengan semakin menepinya daya dalam tubuhnya. Ia tergelincir saat memundak balok kayu Pinus berukuran 3x3 inchi dengan panjang 5 meter. Kecelakaan itu meninggalkan kenangan di pundak kerontangnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline