Lihat ke Halaman Asli

NewK Oewien

Sapa-sapa Maya

Hanya Sebatas Ikrar Hampa

Diperbarui: 4 April 2017   15:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi/dokpri

Aku dan dia bersantai hening diatas sebuah bukit. Sambil bercerita topik serius. Tentang target akhir yang bersifat mulia, dari sebuah hubungan yang sudah terjalin melebihi dari kata pertemanan atau persahabatan. Semacam keharusan yang diwariskan oleh kakek-nenek buyut manusia—Adam dan Hawa. Hidup berpasangan dan meneruskan eksistensi kehidupan manusia di dunia yang konon semakin tua ini.

Aku sudah sering minta perpanjangan waktu untuk itu. Tapi dia terlalu sering beretorika akan keteguhan hatiku untuk menggandeng tangannya hingga tua nanti—sesuai janji saat meminta tanda tangan warming up hubungan dengannya. Pasalnya aku takut tak bisa menjadikannya ratu cantik jelita, membeli batu mulia, dan membangun istana untuk kami diami. Karena aku masih menjadi pegembara dengan tujuan tidak jelas dan hanya punya warisan nyawa dan jasad semata.

Tapi, apa boleh buat. Dia sudah terlalu muak menahan hembusan badai yang menerpa tubuhnya. Ia butuh sandaran agar tidak goyang. Secepatnya, katanya.

Untuk itu, aku membawanya ke tempat ini. Dibawah Gubuk berbentuk kotak berukuran 3 x 3 m, beratapkan ijuk pohon aren dan bertiang bambu yang cukup umur kami berteduh, agar terhindar dari sengatan cahaya ultraviolet yang kapan saja dapat merusak kulit halusnya.

Di kelilingi pohon pinus berusia muda. Usia pepohonan yang ditata berjejer rapi itu persis sama dengan usia tempat yang dijuluki sebagai cinta kasih ini, mungkin karena selama ini selalu digunakan untuk melekatkan hubungan cinta penuh kasih dan sayang. ‘Bukit Pinus Beriring’ nama yang diberi oleh otak perancang tempat ini. Semilir angin selalu mencumbui bukit ini, mempersembahkan nyanyian alam bagi siapa saja berkunjung, desau merdu daun pinus bergoyang yang arah goyangannya diatur oleh angin. Segar.

Ke arah selatan tersuguh pemandangan yang memukau. Hingga sekacau apapun hati tuan saat memandang, pasti tersudutkan. Lereng bukit 30° dengan pinus muda berbaris rapi menjulur panjang. Tertumpu pada hamparan sawah dan titik-titik rumah warga kampung-kampung, yang saat ini padinya sedang menguning. Padi-padi tua dan rumah-rumah diterpa sinar matahari. Berkilauan mempesona.

Setelah betangan sawah, terhidang dua gundukan tanah yang menanjak. Karena terpancang memanjang, berderet-deret, orang-orang menyebutnya Gunung Barisan. Menjulang tinggi dengan berselimutkan pohon-pohon tua. Terlihat kehitaman. Awan yang selalu bertengger di puncak semakin memanjakan mata. Dan tak jarang gerombolan merpati melitas menuju tebing yang dijadikan sarang pada salah satu sisi yang diselimuti awan.

Tempat ini memang cocok sebagai perantara bagi mereka yang hendak membunuh kebisingan hari-hari. Menyudutkan riuh hingga merengguh ketenangan. Memang betul! Bisa jadi sekompleks apapun rintangan dunia mencekam akan tersingkirkan di sini.

Tidak salah lagi, sepertinya tempat ini tujuan yang aku dan dia butuhkan saat ini. Aku yang masih dipusingkan memecah batu keras kesusahan untuk mendapat alat penyambung napas secara menetap atau menjanjikan. Semetara dia tidak sabar meladani ocehan-ocehan tentang kepastianku untuknya yang disarangkan kehidupan tepat ke ulu hati terdalamnya. Hingga ia terguncang. Untuk itu, aku dan dia sepakat membuang ketidaknyamanan dan memancing ketenangan ke tempat ini. Sepertinya kami akan berhasil.

"Aku sudah lelah Bang."

Masih dalam terpaan pesona ia mulai bersuara. Lembut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline