Lihat ke Halaman Asli

NewK Oewien

Sapa-sapa Maya

Cerpen | Padang Ilalang dan Gadis Muda Menunggu Awan

Diperbarui: 11 Maret 2017   04:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Shutterstock.com

Ia berlari ke tengah padang Ilalang. Menunggu awan bertandang. Inginnya cukup sederhana. Sebuah gumpalan awan memberinya teduh ditengah terik yang tak kenal lelah memangsa, dan kalau bisa memberinya hujan.

Lama Ia menunggu. Ditemani riak gembira daun Ilalang yang dicumbu mesra angin berlalu. Himpitan tubuh Ilalang yang bergoyang-goyang seolah mengajaknya ikut menari. Selendang hijau muda pemberian Almarhumah Ibunya dikibaskan pada Ilalang. Ilalang tergelitik dan semakin dahsyat bergoyang.

Selain Ilalang menghiburnya, siang itu angin turut juga mengelap keringat yang terus berkucuran. Angin tanpa henti memompa semangat Ilalang bergoyang. Juga mengelus bulu-bulu lentik gadis muda yang berparas cantik itu. Ia tambah segar. Lihatlah, alam pun senantiasa mendukung usaha yang ditempuh.

Akhirnya gumpalan awan datang menyapa. Menudunginya dari atas mega. Tergambar jelas keteduhan yang sempurna. Senyumnya mengembang dan Awan balas tersenyum.

Dan tiba-tiba gumpalan awan pun berlari-lari. Ditendang angin ke segala penjuru arah. Hatinya layu. Melihat yang ditunggu keburu lenyap dari pandangan. Namun Ia tetap menunggu gumpalan untuknya. Perasaan yakin dan hiburan alam membuatnya semangat menunggu.

Lama Ia menunggu mengandai penuh ragu. Sesekali rambutnya yang sebahu diterpa angin dengan lembut: tergerai. Ilalang terus bernyanyi merdu ditambah siulan angin, cukup menerjang tembok buntu hatinya. Pandangannya ditembakkan ke mega lapang. Berharap yang dinanti segera datang lagi. Meski tanda-tanda kedatangan kembali belum terpampang Ia sama sekali tak lelah menunggu.

Sedari tadi Ia menunggu. Gumpalan awan belum juga menudunginya. Awalnya Ilalang menghiburnya. Kini berbalik arah menogoloknya dengan pongah:

"Tak ada gumpalan awan untukmu!"

Ia cuek saja. Raut mukanya tetap saja penuh semangat.

Angin yang sejak tadi mengelap keringatnya. Kini bernyanyi menyesakkan dada:

"Bodoh. Kau menunggu ketiadaan."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline