Lihat ke Halaman Asli

NewK Oewien

Sapa-sapa Maya

Siapkan Diri Sebelum Nikah

Diperbarui: 22 Agustus 2016   12:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menikah untuk meneruskah keberlangsungan hidup kita (manusia) diatas permukaan Bumi, dengan menikah kita (manusia) dituntut untuk melahirkan penerus pada setiap pos yang sudah ditinggalkan leluhur. Karena fungsi menikah untuk ‘meneruskan’, maka sewajibnya kita mempersiapkan menikah itu dengan baik-baik dan semampu kita, agar penerus yang kita hasilkan ‘sempurna’ atau lebih baik karena kita sudah siap dan mampu menjadikannya penerus. Menjadi gagal, jika kita tidak menghasilkan generasi yang lebih baik. Masa mendatang adalah misteri keadaannya, sukar ditebak, tapi dengan siapnya generasi yang akan ‘bergelut’ tentu akan memudahkannya mengarungi.

Untuk itu sebelum menikah, kesiapan menikah harus hukumnya untuk dipersiapkan agar mendapatkan hasil yang mulus dan terurus. Calon pasutri perlu mengetahui dan menyiapakan diri tentang apa yang harus dilakukan, serta mempersiapkan diri untuk menanggulanginya kelak setelah menikah atau mengarungi lautan yang bernama rumah tangga. Tidak ada pakar kehidupan yang mampu memberikan solusi yang baik pada rumah tangga bermasalah tanpa ada rasa mau berubah dari pelaku rumah tangga tersebut.

Didalam menikah terdapat jurang kesulitan, yaitu jurang Psikologi, ekonomi dan kewajiban, penyebabnya biasanya dari ketidaksiapan diri, mayoritas dari ketidaksiapan ini karena faktor umur yang belum tepat (ideal). Meskipun umur yang ideal nikah memang tidak dapat dipastikan ukurannya, tapi kita bisa berkaca dari pengalaman yang sudah-sudah pada kehidupan. BKKBN telah memberikan patokan untuk itu, yaitu laki-laki diatas 25 tahun dan perempuan diatas 20 tahun. Dari itu, penulis sedikit memberi ulasan berdasarkan pengamatan pribadi, khususnya disekitar lingkungan penulis tentang usia ideal ini.

Daerah penulis merupakan salah satu daerah yang memiliki angka tinggi pernikahan dini, perceraian, kemiskinan dan putus sekolah pada anak. Berdasar dari pengamatan, melonjaknya semua itu karena ketidaksiapan dan ketidakmampuan penanggung jawab dari rumah tangga, mencakup masalah psikologi dan ekonomi serta lainnya yang tergolong kecil.

Pernikahan dini
Pernikahan dini merupakan pernikahan yang mungkin kita semua sepakat bahwa pada umumnya menundang bencana pada keberlangsungan rumah tangga nantinya. Bencana pada segi kesahatan fisik dan mental dari anggota rumah tangga, menjadikan bahagia dari rumah tangga entah kemana. Padahal dari rumah tangga kita ingin mendapatkan kebahagiaan, sangat ironis jika becana yang menimpa.

Disini pernikahan dini seolah menjadi tren terkini pada remaja, bahkan sangking dininya ada adik teman saya harus merubah umurnya pada kartu keluarga, ini kejadiannya karena melarikan anak orang (calon istri). Karena umurnya yang masih muda, pihak KUA tidak mau melangsungkan akad nikah karena tidak sesuai dengan peraturan. Kenapa tidak menunda saja? Tidak mungkin. Daerah saya lumayan kental ajaran Islam, jadi kalau sudah terlanjur melakukan hubungan terlarang dan orang tua mengetahui, ya hanya satu solusinya yaitu menikah.

Sepengetahuan saya, faktor penyebab pernikahan dini diantaranya :

Pertama, putus sekolah. Menjadikan remaja minder dengan teman atau tidak punya teman, hingga remaja merasa menikah mungkin menjadi pelipur lara yang telah membara. Tapi setelah menikah, alih-alih mendapat kebahagiaan malah merasa terzholimi dengan kewajiban baru yang menurutnya berat dan tidak adil terhadapnya. Ya, karena memang belum matangnya ilmu rumah tangga yang diraup sebelumnya.

Kedua, orang tua. Pendidikan tentang moral yang kurang, membuat remaja terjebak pada pergaulan bebas. Karena sudah terjebak dengan terpaksa menempuh jalan yang sulit untuk memecahkannya. Jadilah siap tidak siap harus menikah, demi menutupi aib. Seharusnya orang tua adalah orang yang terdekat dan bertanggung jawab terhadapnya, menjaga dan memberi pelajaran moral pada anak. Sedikit solusi untuk orang tua, agar memberikan tambahan pendidikan agama kepada anak, selain siraman rohani dari orang tua, tentunya. Termasuk pembatasan penggunaan alat digital dari seguhan era modern ini. Sehingga mengurangi angka pernikahan dini ketika anak masih berseragam sekolah.

Pernikahan dini, saya analogikan seperti ingin membuat baju, tapi kita belum pernah menjahit sebelumnya atau kursus menjahit, kemampuan nekat saja. Tidak mungkin, bukan? Kalaupun mungkin akan menempuh proses dalam waktu yang lama dengan tenaga yang melimpah serta kain yang lecek (kualitasnya jelek), karena keadaannya seperti itu terkadang sebagian kita menjadi bosan dan menyerah, akhirnya kita putuskan untuk tidak membuat baju. Disini kita yang tidak jadi membuat baju telah merusak kain dan merugikan uang untuk membeli bahan serta waktu yang terbuang sia-sia, walau terkadang pada prosesnya kita menikmati. Tapi, tetap saja rugi.

Perceraian
Kita telah memaksakan membuat baju, tapi belum jadi-jadi hingga bisa jadi kita memutuskan tidak meneruskan, karena dengan pertimbangan yang kiliru kita berpikir bhawa konsumen baju tersebut tidak akan menerima. Jadi, kita putuskan untuk membuang baju yang sedang kita jahit tanpa memikirkan kerugian atau solusi lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline