[caption id="attachment_287609" align="aligncenter" width="215" caption="Muningo (Mencuci Piring) masyarakat Aceh Tengah pada sebuah Resepsi."][/caption] Dalam bahasa Gayo, Ningo berarti cuci piring, sedangkan Muningo adalah kegiatan mencuci piring. Seperti kegiatan para ibu rumah tangga dipenjuru dunia, Muningo merupakan kegiatan rutin yang dilakukan untuk membersihkan piring sisa makanan, untuk kemudian digunakan kembali sebagai piring makan memasuki waktu berikutnya. Misalnya saja piring yang dibersihkan seseorang dari sisa makan pagi, dicuci dan dibersihkan untuk digunakan pada makan siang.
Namun, Muningo yang diceritakan kali ini berbeda. Penulis coba mengulas pekerjaan sederhana ini, mungkin memang tidak penting untuk dibahas. Tetapi penulis merasa ada hal menarik yang akan diceritakan.
Di Takengon, Aceh Tengah, Muningo dalam sebuah acara hajatan, berbeda dengan Ningo yang dilakukan para ibu rumah tangga. Misalnya saja dalam acara resepsi pernikahan, sunat rasul maupun resepsi pemberian nama anak.
Ratusan atau bahkan ribuan orang akan datang dalam acara tersebut, untuk memenuhi undangan tuan rumah. Tak pelak, mereka mencicipi makanan yang dihidangkan oleh tuan rumah dengan menggunakan piring yang berjejer dimeja prasmanan, atau dihidangkan langsung oleh para panitia hajatan.
Nah, panitia resepsi merupakan warga Kampung (sebutan desa di Takengon) setempat, biasanya sebelum resepsi, tuan rumah bersama kepala desa, imam kampung, kepala dusun dan tokoh pemuda melakukan rapat pembentukan panitia acara, dengan sejumlah seksi (bagian) seperti seksi perlengkapan, penyambut tamu, seksi hiburan, dan seksi lainnya, termasuk seksi cuci piring.
Seksi Ningo biasanya dikomandoi oleh koordinator, kemudian pada saat resepsi berlangsung koordinator turut serta bersama petugas yang dituliskan namanya, untuk kemudian Muningo pada hari yang ditentukan.
Biasanya, petugas Ningo yang di SK kan oleh empunya hajatan tidak sampai sepuluh orang. Mereka bekerja ikhlas, sebagai bentuk silaturahmi pada tetangganya. Tuan rumah biasanya hanya menyediakan makananan, rokok, dan sedikit puding.
Pada saat Munigo, mereka membagi tugas masing-masing, jika mereka yang mencuci piring lima orang, maka dua orang mencuci piring, satu orang membilas, satu orang meletakkan piring tersebut tempat yang telah disediakan, satu orang lagi mengantar piring keprasmanan.
Secara umum, Muningo bukan hanya mencuci piring saja, tetapi sudah termasuk gelas, sendok dan perlengkapan dapur lainnya.
Beberapa hari sebelum Muningo dilakukan, panitia telah membuat tempat khusus untuk kegiatan tersebut, berupa wadah Ningo yang terbuat dari kayu dan dilapiki plastik “terpal”agar air tidak keluar, dan piring kotor dapat dicelup langsung kedalam wadah itu.
Dibeberapa Kampung cara Muningo tidaklah berbeda, khususnya pada komunitas jawa yang ada didaerah ini. Sebagian besar menyewa para pencuci piring dari kampung lain.
Yang perlu diketahui, para pencuci piring dalam sebuah hajatan di Aceh Tengah jarang sekali dilakukan kaum ibu, melainkan laki-laki dibawah usia 40 tahun.
Namun, bagi masyarakat Aceh Tengah, hal penting pada kegiatan mencuci piring ini adalah terjalinnya silaturahmi dan rasa kegembiraan. Para pemuda merasa memiliki rumah, merasa menjadi bagian dari tuan rumah, sehingga pekerjaan sederhana seperti ini mampu mempersatukan keluarga dan masyarakat pada sebuah desa. Bisa dibayangkan jika diseluruh indonesia dapat menjalin kebersamaan dan kekompakan seperti ini bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H