[caption id="" align="alignnone" width="600" caption="wine impor"][/caption] Suka Wine alias anggur? minuman ini termasuk kategori minuman beralkohol, yang berasal dari fermentasi sari buah ataupun fermentasi beras. Wine paling popular berasal dari fermentasi sari buah anggur, namun secara teknis sebenarnya wine berasal dari minuman terfermentasi. Wine di Indonesia kebanyakan merupakan barang impor. Produk impor ini dipasarkan secara terhormat di gerai-gerai yang berlokasi strategis, disajikan cantik, dengan kemasan mewah dan bandrol harganya pun relatif mahal. Lalu bandingkan keadaannya dengan "wine lokal" alias miras yang sering tergaruk satpol pp dan dianggap minuman penyebab gangguan ketertiban. Wine lokal mungkin tidak dikenal dengan sebutan itu benda ini memiliki nama aliasnya yang banyak, salah satu yang saya kenal CIU yang berasal dari fermentasi ketan hitam populer di kampung saya. Kualitas rasa mungkin tidak kalah dibanding dengan Rice Wine lain misalnya SAKE Jepang. Namun karena penyajian dan persoalan sosial yang mengikuti produsen ini mengakibatkan minuman CIU menjadi tidak berkelas, dijual dengan murah, diedarkan secara tersembunyi, dikemas ala kadarnya, bahkan beberapa kasus ternyata dicampur dengan bahan kimia berbahaya. Namun entah bagaimana cara berpikir pemerintah kita bahwa seolah-olah wine impor tidak termasuk kategori minuman keras seperti yang diperlakukan pada wine lokal yang sering terkena razia. Ataukah ada yang salah pada produsen wine lokal sehingga tidak melihat peluang pasar yang cukup besar pada penjualan wine premium? ataukah memang produsen kita belum mampu? Masalah wine sebenarnya termasuk isu sensitif karena terdapat agama yang melarang untuk meminumnya namun nyatanya beredar juga dan tingginya tingkat kesejahteraan masyarakat penikmat minuman ini juga ternyata meningkat juga. Saya mengingat penugasan ke Kepulauan Maluku, masyarakat setempat membuat minuman beralkohol yang merupakan hasil destilasi dari fermentasi nira kelapa. Minuman beralkohol yang merupakan hasil destilasi biasanya disebut spirit contoh minuman semacam ini adalah brandy, rum, atau vodka. Untuk produk lokal ini disebut SOPI. Dari segi kualitas rasa SOPI menurut saya seperti minum alkohol murni, walau rasa manis dari nira masih tersisa namun masih kalah jauh dibandingkan dengan brandy impor. Di sini, saya tidak melihat pemerintah lokal berusaha memperbaiki kualitas rasa SOPI supaya bisa berkelas dan layak untuk dipajang di gerai gerai minuman hotel berbintang misalnya. Hal ini juga saya lihat pada kasus CIU di kampung saya. Pemerintah daerah cenderung membiarkan tanpa sedikitpun berusaha memberi sentuhan seni pada produk SOPI, masyarakat dibiarkan tanpa arah tentang produksi dan konsumsinya. Ketika timbul masalah ketertiban minuman ini langsung dituding sebagai tersangka. Saya mengingat juga waktu studi tur ke Bali, terdapat minuman wine dari ketan hitam yang biasa disebut BREM BALI. Warna minuman ini merah berasa manis dengan alcohol berkisar 15% seingat saya. Sayangnya produksi hanya local dan tidak dijual di daerah lain walaupun bisa dipesan online. Segi harga relatif murah dibandingkan produk impor bahkan bisa disebut terlalu murah. Namun termasuk mahal dibanding minuman lokal lainnya. Minuman ini dikemas cukup cantik dan dijual sebagai sufenir Bali selain kerajinan tangan lainnya. Selain Bali saya belum melihat di tempat lain memperlakukan minuman daerahnya secara terhormat [caption id="" align="alignnone" width="250" caption="wine bali"]
[/caption] . Apa keuntungannya jika minuman ini diupgrade kelasnya dan dijual dengan kemasan cantik serta terbatas? Pertama sisi ekonomi, minuman beralkohol berkualitas baik berharga mahal, digemari orang-orang yang memiliki anggaran hiburan cukup besar, pemerintah dapat memungut cukai pada produk ini seperti halnya pada rokok. Kedua sisi kesehatan, minuman beralkohol secara tidak terarah akan merusak hati, namun jika terukur dan terkendali berpotensi mengurangi serangan jantung terutama untuk produk wine dari sari buah anggur. Dan jika tata niaga wine local berhasil diperbaiki serta wine tampil prima serta harga mahal secara tidak langsung akan mengurangi konsumsi minuman ini di masyarakat. Sehingga pesta miras mungkin jarang terjadi. Ketiga sisi kebanggaan, minuman beralkohol lokal menunjukan tradisi budaya setempat, jika dikemas baik dan bisa bersanding dengan minuman impor bisa memperkenalkan nama daerah. apalagi jika minuman tersebut populer dibawa sebagai sufenir pelancong mancanegara. Sisi negative, gesekan lembaga keagamaan dengan produsen wine mungkin akan menguat. Tulisan ini tidak bermaksud menggugat pemerintah terhadap sikap diskriminatif terhadap minuman local dan impor namun lebih bermaksud mengajak berkontemplasi tentang bagaimana menaikan kelas wine lokal sehingga setara dengan produk impor. Apa jadinya jika untuk minuman beralkohol pun kita menjadi importir sejati?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H