Lihat ke Halaman Asli

Jadilah 'Guru Emas'

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

gaulislamedisi 266/tahun ke-6 (12 Muharram 1434 H/ 26 November 2012) Hmm… digugu lan ditiru, 3 kata inilah yang pertama kali muncul dibenak ane ketika selesai baca email dari editor gaulislam yang ngasih tahu sekarang giliran ane untuk nulis. Ketiga kata tadi adalah dari bahasa java versi 1.0 alias bahasa Jowo asli, yang artinya, dipercaya dan diikuti. Orang Jawa versi 1.0 punya hobi bikin kepanjangan dari kata bahasa Jawa. Tujuannya untuk memberikan penjelasan terhadap makna kata tersebut. Dan singkatan paling populer dan paling pas untuk kata GURU dalam bahasa Jawa adalah digugu lan ditiru alias dipercaya dan diikuti. Waktu ane masih sekolah dulu, ada macem-macem species guru, paling tidak ada 5 species yang berhasil ane identifikasi dengan sukses, ini rinciannya: Pertama, guru yang males. Tiap kali ngajar nggak ada semangatnya. Bisa dilihat dari sorot matanya, perilakunya, dan metode mengajarnya. Guru model seperti ini paling banyak ane temuin. Hilangnya motivasi mereka bisa karena beragam faktor, mulai dari materi yang diajarkan memang tidak menarik, gurunya sendiri nggak kapabel karena bukan bidang keahlian dia, hingga motivasi ekonomi yang terlalu berlebihan alias pengen cepet kaya. Kedua, tipe guru hobinya pelupa. Biasanya sering memberi tugas/PR, tapi sering lupa, mungkin karena banyak yang dipikirkan atau banyak tugas yang harus diselesaikan oleh guru tersebut, sehingga akhirnya konsentrasi dan tata laksana pengajaran menjadi kurang baik. Ketiga, guru yang suka cerita pengalaman hidupnya. Beliau menjelaskan pelajaran relatif singkat dan langsung ‘to the point’ kemudian menghabiskan sisa waktu pelajaran dengan mendongeng. Hadeeuuhh… Keempat, guru yang suka bercanda berlebihan. Ane pernah punya guru bahasa waktu SMP, yang hobinya bercanda minta ampun. Jadi kita langsung tahu di kelas mana beliau sedang mengajar, hanya dengan mendengar kegaduhan kelas tersebut. Parahnya lagi, murid merasa senang dan terhibur karena joke guru tersebut, yang kemudian melupakan konsentrasi murid terhadap pelajaran. Alhasil, untuk dapet nilai 4 (dari skala 10) saja sangat susah. Padahal materinya adalah bahasa Indonesia dan ironisnya semua muridnya orang Indonesia. Kelima, ‘species’ terakhir yang ane bisa identifikasi adalah guru yang sayang banget papan tulis. Beliau ini akan memulai pelajaran dengan membersihkan papan tulis. Guru model begini biasanya mengajar pelajaran eksak seperti matematika, fisika ataupun kimia. Karena begitu banyak rumus yang harus ditulis di papan tulis, sang guru terlihat sibuk sendiri menatap papan tulis dan menjelaskan satu persatu rumus yang ditulisnya dengan menghadap ke papan tulis, bukan kearah murid. Akibatnya, para murid dapat bebas melakukan berbagai aktivitas sambil melihat sang guru yang asyik berbicara sendiri dengan papan tulis. Ane menulis artikel ini bukan untuk menghina profesi guru yang agung dan tinggi kedudukannya, tapi sekadar mengungkapkan fakta yang ane temui waktu sekolah dulu. Di satu sisi guru juga manusia, mereka tidak luput dari kekurangan, sehingga tidak pada tempatnya kalo kita menuntut kesempurnaan dari mereka. Namun demikian juga bukan berarti ketika menjadi guru kemudian bisa bebas lepas dari tanggung jawab utama untuk ‘mendidik’ dengan dalih bahwa kewajiban guru saat ini adalah mengajar, jadi selama sudah memenuhi kewajiban mengajar dengan materi yang sudah distandarkan oleh negara selesai sudah tanggung jawabnya. Sistim pendidikan kita Guru merupakan salah satu elemen yang cukup penting dan krusial pada masyarakat yang menghargai ilmu, dan sebaliknya akan dikesampingkan peranannya pada masyarakat yang tidak menghargai ilmu. Kalo melihat bagaimana penghargaan masyarakat kita pada guru, saat ini, sudah jelas bagaimana sebenernya apresiasi bangsa kita terhadap ilmu, buruk! Kebanyakan orang tua murid memilih sekolah, alasan utamanya karena prestis dan kemampuan finansial mereka. Sekolah nggak lagi dipilih karena kehebatan atau kualitas guru yang mengajar. Sehingga yang dikedepankan bukan nama besar guru yang mengajar, tapi nama sekolahnya. Padahal pergantian guru adalah sebuah keniscayaan, naik dan turunnya kualitas pendidikan adalah hal yang tidak terhindarkan. Sekolah yang dianggap favorit belum tentu selamanya bisa menyelenggarakan pendidikan yang terbaik. Namun ironisnya sekolah favorit ini malah diuntungkan dengan gampangnya memperoleh murid yang berpotensi, orang tua yang merasa memiliki anak yang pinter, rame-rame masukin anaknya ke sekolah favorit, dan ini sangat menguntungkan guru di sekolah favorit tersebut, karena emang lebih gampang ngajarin anak yang pinter. Belum lagi dengan keberadaan industri bimbingan belajar yang statusnya rada engga jelas dalam sistim pendidikan kita. Pernah ane baca sebuah artikel, ada lembaga yang melakukan survey terhadap siswa terbaik di beberapa kota besar di Indonesia, dan mereka menemukan 7 dari 10 siswa terbaik, rata-rata mereka ikut bimbel, padahal bimbel sebenernya melakukan kegiatan yang nyaris sama dengan apa yang dilakukan guru di sekolah, yaitu mengajar juga, nah lho? Sobat gaulislam, tanggung jawab mendidik memang utamanya ada pada orang tua. Syariat Islam mensyaratkan bagi semua muslim yang ingin menikah (calon orang tua), dengan satu syarat, yaitu mampu. Mampu umumnya ditafsirkan terbatas pada kemampuan untuk mencukupi kebutuhan finansial saja. Jarang dihubungkan syarat mampu ini dengan kemampuan untuk memimpin keluarganya dan kemampuan untuk mendidik keluarganya. Padahal di ayat lain terdapat perintah untuk melindungi diri kita dan keluarga kita dari api neraka, bagaimana mungkin kita bisa melindungi diri dan keluarga kita dari api neraka, tanpa melalui pendidikan? Oleh karena itulah para ulama sepakat bahwa mendidik anak bagi orang tua hukumnya wajib, dan orang tua tidak bisa membebankan semua tanggung jawab pendidikan kepada guru, hanya karena sudah membayar mahal biaya pendidikan. Guru emas Bro en Sis, pembaca setia gaulislam, selalu saja ane temukan guru-guru berlapis emas dalam berbagai level pendidikan yang ane pernah tempuh selama ini, tidak perduli seberapa hancurnya sistim pendidikan yang ada. Selalu aja ada guru yang layak untuk mendapat acungan jempol. Mereka ini secara umum memiliki karakter: ikhlas, berorientasi kedepan, maksudnya kepada masa depan kehidupan muridnya, dan biasanya istiqomah dalam konteks yang baik tentunya, misal: selalu tepat waktu, tegas/disiplin tinggi dan selalu kreatif dalam menyampaikan materi. Khusus untuk soal orientasi, sering ane temukan guru yang emang fokusnya adalah gimana untuk lolos UN atau ujian saja. Mereka terlalu fokus pada angka-angka di buku rapor siswa, sehingga mereka akan melakukan segala cara untuk memastikan anak didik mereka lolos ujian. Padahal hidup ini bukan hanya UN/ujian akhir saja, bisa jadi mereka akan memperoleh kredit ketika berhasil meluluskan 100% siswanya, tapi apa bener itu semua bermanfaat bagi para siswanya di kemudian hari? Di antara ‘guru emas’ yang ane temuin, ada satu kekhasan mereka, yaitu mereka memahami betul, bahwa belajar dan mengajar adalah satu paket, sama dengan mendengar dan berbicara, membaca dan menulis, karena memang AllahTa’ala menciptakan segala sesuatu di dunia ini berpasangan, dan untuk belajar pasangannya adalah mengajar. Pendidikan saat ini, terlalu fokus pada belajar saja. Kalo jaman dulu, guru ngomong kemudian ditulis oleh muridnya, sehingga ada dua kegiatan, yakni mendengar/menyerap informasi dan kemudian menuliskannya. Saat ini kegiatan menulis tersebut telah diganti dengan buku paket, sementara murid cukup membaca dan mendengarkan saja. Di salah satu pesantren pernah ane temui metode mengajar yang sangat menarik, mereka punya tradisi menjadikan siswa senior (yang mau lulus), sebagai asisten ustadznya dan sekaligus polisi/penjaga ketertiban adik-adik kelasnya di pesantren tersebut. Inilah salah satu peluang emas, mereka diberi kesempatan untuk mengajar/membantu ustadznya mengajari adik-adiknya. Tentunya ketika ngajarin, jadi ketahuan mereka ini sebenernya udah ngerti atau belum, karena syaratnya orang yang memberi, dia harus punya dulu, syaratnya bisa ngajarin, harus paham dulu. Kalo hanya menilai dari hasil kertas ulangan aja, belum tentu bisa menunjukkan kondisi yang sebenarnya. Selain mengajar, siswa senior tersebut juga diberikan hak untuk mengatur adik-adik kelasnya, di sinilah mereka mulai belajar dakwah, bagaimana mencari jalan keluar ketika terjadi pertentangan antara teori yang diyakini dan fakta di lapangan, sekaligus bagaimana mencari jalan keluar terbaiknya. Penutup Dunia ini belum kiamat, masih banyak guru-guru emas di sekitar kita, bahkan bertebaran di mana-mana. Cuma cara pandang akan sistim pendidikan moderen saat ini, memudarkan cahaya emas mereka, tertutup dengan angka-angka target kelulusan dan kebanggaan sekolah yang terbalut dengan nominal rupiah. Bro en Sis rahimakumullah, jadilah murid yang baik, karena hanya murid yang baik yang layak memperoleh guru yang baik. Syariat Islam mewajibkan kita untuk menjadi murid yang baik, menganjurkan kita untuk membaca dan mendengar ayat-ayat Allah Swt. di dalam semua ilmu, karena memang pemilik ilmu adalah Allah Swt. Kewajiban kita adalah belajar sebagai upaya untuk mendapatkan ilmu tersebut. Ayo, semangat belajar ya! Ane memiliki keyakinan yang kuat bahwa di dalam setiap guru terdapat cahaya emas, ada yang terang dan ada yang redup. Kita semua hanya hidup sekali. So, mari para guru kita jadikan hidup kita yang sekali ini menjadi berarti di dunia dan di akhirat. Semoga bermanfaat. [Abu Fikri | @gaulislam] Link Asli: http://www.gaulislam.com/jadilah-guru-emas

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline