Lihat ke Halaman Asli

Karunia Hidup Melajang

Diperbarui: 28 September 2020   11:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

"Status lajang bukanlah untuk dibully, tidak untuk bahan gosip juga tidak untuk diperdebatkan"

Saya punya satu saudara laki-laki yang belum menikah. Dia memang sudah kepala tiga dan karirnya sudah mantap. Saya sangat memahami keberadaannya sekarang,dimana aktivitasnya yang super sibuk membuatnya lupa untuk mencari pasangan hidupnya.Semua anggota keluarga mendesaknya agar secepatnya menikah. Sebenarnya dia bukan tidak mau menikah hanya saja menurutnya belum ada yang pas. Jadi,  Posisi saya saat ini menjadi orang terpercaya baginya. Menjadi tempat curhatnya . 

Kedua orangtua saya cemas dengan situasi ini. Tak jarang mereka membujukku untuk mengatakan kepada abang saya supaya menikah. Ketika mereka panik dengan keadaan abang saya yang masih asyik menjomblo saya katakan sabar. Toh,nanti sendiri yang mengalami. Siapa tau aja memang dia mau hidup sendiri seperti saya,hehehehehe. Jodoh tak kemana iya kan..!! Ibu saya setiap bertelepon pasti mengucapkan kalimat berikut " 

Suster,bagaimana abangmu sekarang ? Dia sendirian. Dia tidak punya siapa-siapa. Sampai kapan dia bertahan seperti itu. Waduh, orang tua memang selalu khawatir dengan hal-hal semacam ini.

Saya pikir  Itulah yang dikatakan orang ketika mereka berbicara tentang orang lajang. Menjadi lajang masih distigmatisasi dan dicurigai. Sering muncul stereotip "kapan kamu berumah tangga" "Kapan kamu memberi kami cucu". Mengenaskan bukan.

Kita akui beberapa kerabat dan keluarga kita memang menganut dan tersandera pada pandangan tradisional bahwa menikah itu standar emas menuju hidup bahagia. Pendek kata hidup berpasangan dan memiliki anak dipandang lebih baik dan memberi kebahagiaan extra bagi keluarga besar.

Sekadar diketahui, saat ini cara orang berpikir tentang pernikahan dan keluarga terus berkembang dan banyak asumsi lama yang dibantah termasuk pandangan tradisional yang disebutkan sebelumnya. Semakin banyak orang mengakui bahwa mereka yang belum menikah berhak mendapatkan perlakuan yang adil dan hak yang sama dengan mereka yang sudah menikah.

Artinya hidup seseorang tidak direduksi pada status hubungan; menikah atau tidak menikah. Status hubungan seseorang bagaimanapun berada dalam kendalinya sendiri. Artinya, jika anda melihat menjadi lajang sebagai sebuah kegagalan, maka melajang jelas tidak baik untuk anda. Menikahlah. Selesai. Tetapi bila itu membahagiakan, mengapa tidak.

Tidak bisa dibantah ada begitu banyak orang yang kukuh bertahan dalam kesendiriaanya, menjadi lajang. Mereka bahagia. Memiliki kehidupan yang utuh, kuat dan pekerjaan yang bermakna. Mereka memiliki tujuan hidup.Status lajang bukanlah untuk dibully, tidak untuk bahan gosip, juga tidak untuk diperdebatkan. Para lajang bisa saja lebih bahagia ketika tidak ingin bertanggung jawab lebih atas orang lain, mereka puas tanpa pasangan dan benar-benar menikmati kesendirian. Saya bukan membela abang saya ya,hehehe.

Bagi orang Katolik, harus menikah bukanlah prinsip alkitabiah. Dalam Matius 19:12 Yesus membagi tiga kelompok orang yang tidak dapat kawin:

1) Orang yang terlahir dalam keadaan 'kebiri' (bawaan lahir), mereka yang mempunyai kekurangan pada tubuh sehingga mereka tidak dapat menikah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline